Khutbah Jumat: Menjamu Tamu

38
KH Syamsul Yakin

Oleh: KH Syamsul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Dalam Mukasyafatul Qulub, Imam al-Ghazali mengutip sebuah hadits Nabi tanpa menyebut muhadits dan perawinya, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu”. Nabi tambahi, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut dikutip juga dalam Arbain Nawawiyah oleh Imam Nawawi.

Diceritakan oleh Imam al-Ghazali bahwa Nabi bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki seekor unta dan banyak sapi. Namun dia tidak menjamu Nabi. Kemudian Nabi bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki beberapa ekor kambing kecil. Perempuan itu menjamu Nabi dengan menyembelih seekor kambing untuk beliau.

Nabi bersabda, seperti dikutip Imam al-Ghazali, “Lihat mereka berdua. Akhlak itu milik Allah. Barangsiapa Allah kehendaki memiliki akhlak, maka Allah memberinya”.

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengajari kita tentang adab terhadap tamu. Salah satunya tuan rumah hendaklah tidak perlu menawari makanan tertentu kepada tamu. Namun sebaiknya sajikan saja makanan terbaik yang dimilikinya.

Terkait adab bertamu, Nab bersabda, “Menjamu tamu selama tiga hari. Sedangkan memuliakannya sehari semalam. Tidak halal bagi seorang muslim tinggal di rumah saudaranya sehingga dia menyakitinya”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah menjawab, “Tamu itu tinggal bersamanya sedangkan dia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya” (HR. Muslim).

Abu Hurairah bercerita bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, lalu berseru, “Wahai Rasulullah, aku lapar.” Rasulullah meminta seseorang ke rumah istri-istri beliau Ternyata mereka tidak memiliki makanan apa pun. Rasulullah bersabda, “Adakah seorang di antara kalian yang mau menjamu tamuku malam ini? Semoga Allah merahmati kalian”.

Lalu berdirilah seorang laki-laki dari kalangan Anshar seraya berkata, “Akulah yang akan menjamunya, ya Rasulullah”. Lalu dia pulang ke rumah keluarganya dan berkata kepada istrinya, “Orang ini adalah tamu Rasulullah, berilah makanan untuknya”.

Istrinya menjawab, “Demi Allah, aku tidak mempunyai makanan apa pun selain makanan untuk anak-anak kita”. Suaminya berkata, “Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkanlah mereka, lalu kemarilah dan matikanlah lampu, biarlah kita menahan lapar untuk malam ini”.

Istrinya melakukan apa yang diperintahkan suaminya itu. Kemudian pada pagi hari, laki-laki itu menemui Rasulullah. Di hadapan para sahabat, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah merasa kagum dan tersenyum dengan apa yang telah dilakukan oleh suami istri itu semalam” (HR. Bukhari).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya firman Allah, “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)” (QS. al-Hasy/59: 9).

Sudahkah kita menjamu tamu?

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here