Khutbah Jumat: Allah Tetap Kekal

18
KH Syamsul Yakin

Oleh: KH Syamsul Yakin
Dai LDDA Kota Depok

Sementara semua makhluk langit dan makhluk bumi akan binasa, Allah mendeklarasikan diri, “Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. al-Rahman/55: 27). Kata “yabqa” didahulukan untuk menarik perhatian para pembaca bahwa Allah benar-benar kekal. Fi’il mudhari’ digunakan untuk menunjukkan istimrar atau konsistensi, kontinu, dan permanen.

Menurut Sayyid Quthb, kekekalan Allah ini adalah nikmat buat makhluk. Dengan itu, Allah menciptakan segala makhluk, lengkap dengan hukum, sistem, dan karakteristiknya. Dengan itu, berlaku hukum alam yang bisa diverifikasi dan bisa dipelajari. Tertata rapi juga tatanan nilai berupa ganjaran (reward) dan hukuman (funishment). Tidak etis dan juga tidak logis apabila yang mengadakan itu semua zat yang temporer, musnah, dan ikut binasa.

Ayat ini juga mengandung keindahan bahasa dan sastra. Misalnya, Allah menyebut diksi “wajah” yang maknanya sebagian Zat Allah. Namun maksudnya keseluruhan Zat Allah. Dalam ilmu balaghah (ilmu yang mempelajari kemampuan menyusun kata dan kalimat yang indah dalam bahasa Arab), seperti diungkap al-Zuhaili, ayat di atas memuat majaz mursal.

Majaz mursal adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya yang memiliki korelasi yang tidak serupa. Artinya, wajah Allah dalam ayat di atas tidak berkorelasi dengan makna yang sebenarnya. Karena yang dimaksud wajah Allah adalah keseluruhan Zat-nya yang kekal, bukan hanya wajah.

Muhammad Yusuf Ali menggambarkan wajah Allah ini adalah Zat tunggal yang tidak akan lenyap. Wajah itu menggambarkan keperibadian. Dalam konteks ini, wajah Allah adalah Zat Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Wajah Allah adalah Diri dan Ruh serta semua sifat mulia yang berkorelasi dengan nama nama superlative Allah yang indah atau al-Asma al-Husna. Allah menegaskan, “Hanya milik Allah al-Asma al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma al-Husna itu” (QS. al-A’raf/7: 180).

Di dalam ayat ini ada dua kata al-Asma al-Husna itu, yakni al-Jalal dan al-Ikram. Al-Zuhaili menuturkan bahwa satu waktu Nabi melewati seseorang yang sedang shalat dan membaca doa “Yaa Dzal Jalali wal Ikram”. Sontak Nabi bersabda, “Doamu benar-benar akan dikabulkan”.

Inilah doa yang dikutip oleh Ibnu Katsir, al-Maraghi, dan al-Zuhaili yang mengandung al-Jalal dan al-Ikram. Mereka menyataka doa ini ma’tsuur, “Wahai (Tuhan) Yang Hidup Kekal Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya Wahai (Tuhan) Pencipta langit dan bumi.Wahai (Tuhan) yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Dengan memohon rahmat-Mu kami meminta pertolongan, perbaikilah bagi kami semua urusan kami, dan janganlah Engkau serahkan diri kami kepada hawa nafsu kami kendati hanya sekejap mata, dan jangan pula kepada seseorang dari makhluk-Mu”.

Bagi al-Zuhaili, al-Jalal adalah Allah yang memiliki keagungan. Sedangkan Muhammad Yusuf Ali menulis bahwa al-Ikram adalah Allah Yang Maha Murah Hati dan Maha Mulia karena Allah menganugerahkan nikmatnya kepada seluruh makhluk. Maka untuk kesekian kalinya Allah berfirman, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan” (QS. al-Rahman/55: 28).

Kesimpulannya, ayat ini menjelaskan Allah Yang Maha Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Itu artinya tidak ada makhluk yang boleh durhaka dan membantah kepada-Nya. Dalam menjalani kehidupan manusia harus sabar. Sabar, bagi pengarang Tafsir Jalalain ada dua, yakni sabar dalam menaati perintah-Nya dan menahan ujian-Nya.

Allah memerintahkan, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya” (QS. al-Kahfi/18: 28). Juga firman-Nya, “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah” (QS. al-Insan/76: 9). Wajah Allah dalam ayat ini artinya keridhaan-Nya.*

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here