Oleh: KH Syamsul Yakin
Waketum MUI Kota Depok
Allah selalu sibuk. Setidaknya, hal ini dapat dibaca pada makna ayat, “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. al-Rahman/55: 29). Berikut ini akan diuraikan spektrum makna kesibukan Allah.
Menurut al-Maraghi, setiap hari Allah sibuk menghidupkan, mematikan, memberi rezeki, memuliakan, menghinakan, memberi penyakit, menyembuhkan, mengabulkan dan menolak permohonan, menghukum dan mengampuni, memberi rahmat, murka dan lain sebagainya.
Agak berbeda sedikit dengan al-Maraghi, yakni al-Zuhaili. Menurutnya, setiap saat Allah diliputi dengan urusan. Namun urusan itu telah ditetapkan dalam qadha-Nya sejak azali (bukan baharu). Artinya, keputusan Allah mematikan dan mengbidupkan, memuliakan dan menghinakan bukan baharu.
Namun, menarik apa yang diungkap oleh Muhammad Yusuf Ali. Menurutnya, “Sy’nun” itu kalau dikaitkan dengan ayat di atas maknanya adalah Allah yang selalu mengendalikan segala urusan. Allah selalu peduli kepada semua makhluk-Nya, ada bersama mereka dan tidak pernah berpisah.
Bagi Sayyid Quthb, kesibukan Allah setiap hari bermakna bahwa Allah adalah Zat yang melakukan pengaturan. .Pengaturan-Nya menjangkau yang global dan rinci, masyarakat komunal dan individual. Pengaturan-Nya yang membuat selembar daun tumbuh dan jatuh.
Kesibukan Allah tidak membuat-Nya lalai dengan kesibukan lain. Kesibukan Allah berbeda dan tidak bisa disamakan serta dibayangkan dengan kesibukan manusia yang sering kali kesal dan terbelenggu dengan kesibukan sendiri. Kesibukan manusia jadi beban bagi manusia. Kesibukan Allah jadi karunia bagi manusia.
Ketika manusia sibuk meminta, maka pasti Allah sibuk memberi. Manusia memang diminta untuk meminta, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu” (QS. al-Mukmin/40: 60). Berbeda dengan manusia, tulis Ibnu Athaillah al-Sakandari (wafat 1309 Masehi) dalam al-Hikam, tatkala Allah menyuruh manusia meminta, Dia telah menyiapkan yang diminta manusia.
Tampaknya, kesimpulan dari semua pandangan ahli tafsir ada pada pendapat Syaikh Nawawi. Menurutnya, kesibukan Allah berkaitan dengan permintaan manusia kepada-Nya setiap hari yang selalu direspons. Kesibukan Allah, kendati begitu, bersifat azali, seperti yang dikatakan al-Zuhaili.
Kesibukan Allah merespons semua urusan adalah karunia luar biasa. Maka tak heran kalau kembali Allah bertanya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. al-Rahman/55: 30). Tentu tidak ada. Karena manusia, secara kasat mata menyaksikan dan merasakan semua nikmat itu.*