Oleh: KH Syamsul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok
Bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kamu sangat mengharapkan jabatan pemerintahan. Kelak pada hari kiamat hal itu menjadi penyesalan. Amat baik perempuan yang menyusukan anaknya dan amat buruk perempuan yang berhenti menyusuinya” (HR. Bukhari). Kalimat terakhir dalam hadits ini bermakna, “Amat baik pejabat yang menyelenggarakan kepentingan bersama dan amat buruk kalau hanya mementingkan dirinya sendiri”.
Oleh karena itu, Nabi SAW melarang umatnya meminta jabatan pemerintahan. Dari Abu Musa, dia berkata, “Aku masuk menemui Nabi SAW bersama dengan dua orang dari kaumku. Lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah) kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullâh”. Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Maka Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap jabatan itu” (HR. Bukhari).
Alasan Nabi SAW melarang seorang yang meminta jabatan, di antaranya, seperti yang Nabi pesan kepada Abu Dzar. “Wahai Abu Dzar, Engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR. Muslim). Hadits ini jelas memberikan pengecualian, yakni bagi orang yang menunaikan amanat kepemimpinan.
Hadits lainnya, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka” (HR. Bukhari). Hadits ini lebih gamblang, jabatan hakim yang didedikasikannya dimana keadilannya bisa mengalahkan kecurangannya, justru akan menghantarkan ke surga.
Hanya saja sulit untuk membedakan antara yang kecurangannya bisa mengalakan keadilannya dengan yang keadilannya bisa mengalahkan kecurangannya. Alasanya, karena pada suatu saat nanti jabatan akan menjadi rebutan. Tentang hal ini, Nabi SAW menegaskan, “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan” (HR. Bukhar). Dalam konteks ini, kepemimpinan justru harus direbut. Minimal harus diusahakan untuk dipegang.
Hal ini bisa dipahami dari doa Nabi Sulaiman , “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkan kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapapun setelahku” (QS. Shad/38: 35). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini bukan berarti Nabi SAW menghalangi orang-orang sesudahnya untuk mempunyai hal yang serupa dengan yang dimilikinya. Namun ayat ini terkait dengan setan jahat yang pernah menguasai singgasananya. Ayat ini bisa saja dibaca secara kontekstual dimana seorang muslim harus berani mengikuti sebuah kontestasi politik dan memenangkannya.
Tak hanya Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf juga pernah meminta jabatan kepada raja Mesir kala itu yang terekam dalam al-Qur’an, “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (QS. Yusuf/12 :55). Dalam kitab Tafsir Jalalain, diungkap bahwa menurut suatu pendapat ditakwilkan bahwa Nabi Yusuf pandai dalam hal menulis dan menghitung. Tentu, syariat Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf ini juga berlaku buat umat Nabi SAW, dengan sejumlah syarat yang ketat.***