Produk Paten Universitas Minim Diserap Industri

304

Beji | Jurnal Depok
Penelitian yang berorientasi paten dan HAKI menjadi salah satu kriteria penilaian dalam pemeringkatan perguruan tinggi. Namun penelitian dan produk paten dari perguruan tinggi saat ini masih minim dilirik oleh pelaku industri.

Hal tersebut diungkapkan Wakil Rektor III Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia Prof. Rosari Saleh. Ia menerangkan jika produk paten hasil penelitian dan inovasi Universitas Indonesia masih minim diserap oleh industri. Rosari yang akrab dipanggil Prof Ocha ini mengungkapkan industri dalam negeri lebih memilih membeli paten dari luar dibanding produk lokal.

“Paten universitas ini kami akui memang jarang ada yang digunakan di industri,” ujar Prof Ocha saat ditemui sejumlah wartawan di ruang kerjanya di Gedung Rektorat UI Kampus Depok.

Menurutnya butuh perjuangan mendapatkan paten atau HAKI bagi sebuah penelitian atau inovasi. Jalan yang ditempuh pun panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit.

Terkait biaya, Prof Ocha memaparkan saat awal mendaftar untuk mendapatkan paten dari Kementrian Hukum dan HAM maka dilakukan pendaftaran drafting atau paparan rinci mengenai inovasi atau penelitian. Biaya untuk mendaftarkan drafting rata-rata Rp 10 juta. Proses dari drafting menuju sertifikasi paten atau HAKI pun memakan waktu sekitar dua sampai tiga tahun.

“Setelah mendapatkan paten itu harus membayar biaya pemeliharaan paten tersebut Rp 5 juta per tahun selama minimal 20 tahun,” tuturnya.

Dia menjelaskan untuk perguruan tinggi negeri, pemerintah memberikan gratis biaya pemeliharaan selama lima tahun. Setelah itu, mereka harus melanjutkan pembayaran pemeliharaan paten untuk 15 tahun kemudian.

“Jika komersialisasi paten berhasil diserap industri tentu hal tersebut dapat menguntungkan Tapi kalau minim penyerapan, tentu ini jadi tantangan pendanaan tersendiri bagi kami,” ucapnya.

Sebagai universitas riset dengan peringkat baik di tingkat internasional , lanjutnya, Universitas Indonesia tidak bisa tinggal diam menyiasati waktu lama dan biaya pembuatan paten dan terus memotivasi civitas akademi untuk tidak berhenti berkarya.

Walaupun bagi dosen-dosen waktu menunggu paten yang lama ini membuat prosesnya kurang menarik untuk diikuti.

“Ibaratnya memang banyak dosen-dosen yang mendedikasikan dirinya untuk meneliti dan berinovasi kemudian mendapatkan paten. Ini tak boleh dihentikan,” terangnya.

Tahun 2016, Universitas Indonesia sudah memiliki 24 inovasi dan penelitian yang mendapatkan paten. Terbanyak berasal dari Fakultas MIPA, Kedokteran dan Teknik. Inovasi sejumlah dosen peneliti dari Fakultas Kedokteran UI pun mendapat “WIPO Award Medal for Inventors dari Menteri Hukum dan HAM atas paten karya pada tahun 2015.

Untuk meningkatkan jumlah paten yang kurang diminati dosen karena prosesnya yang panjang, Prof Ocha mengatakan UI telah membuat sistem pendampingan untuk para mahasiswa agar bersemangat membuat inovasi atau penelitian. Karena mahasiswa dinilai lebih punya ‘umur’ panjang untuk mencapai jenjang karier.

Menurutnya mahasiswa juga menjadi target memperbanyak artikel ilmiah untuk jurnal-jurnal internasional dengan pendampingan penulisan dari para dosen.

“Kami hanya merumuskan sistem pendampingan buat mereka dari ide hingga meningkatkan technical readyness level supaya lebih matang dan siap dipatenkan atau dipublikasikan,” ucapnya.

Selain itu, telah lama UI menyemai bibit ‘start up’ bagi para mahasiswanya.
Berdasarkan informasi, DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Paten menjadi Undang- Undang pada rapat paripurna 28 Juli 2016 lalu. Panitia Khusus RUU Paten menyatakan telah melakukan penambahan beberapa aturan untuk lebih mendukung inovasi dan penelitian di Indonesia.

“UI mendukung pelaksanaan riset dari sivitas akademiknya mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan riset, pengelolaan hasil yang meliputi paten, produk, prototype, dan publikasi ilmiah,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here