

Laporan: CR1-JD
Pasokan obat Antiretroviral untuk pasien AIDS atau ODHA sudah menunjukkan stok diambang kekurangan khususnya TDF (300) dan TDF (300)/3TC(300)/EFV (600).
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana kepada wartawan mengatakan, karena dalam jangka waktu satu atau dua bulan kedepan ODHA yang mengkonsumsi obat ARV jenis ini akan menghadapi kesulitan dalam mengakses obat ARV lantaran stok obat habis.
“Kami menilai respon pemerintah terkait pengadaan obat ARV ini lamban. Padahal dananya sudah tersedia dan bahkan beberapa obat sudah tercantum dalam E-Katalog,” ujarnya, kemarin.


Data yang didapat dari Kementerian Kesehatan mengenai stok ARV nasional per tanggal 22 November 2019, untuk obat ARV jenis TLE (Tenovofir, Lamivudin, Zidovudine) dengan jumlah pasien yang dalam pengobatan ARV jenis ini sebanyak 48.981 ODHA hanya tersisa 290.908 botol saja.
Sehingga apabila dikalkulasikan stok tersebut hanya akan cukup untuk konsumsi 5,9 bulan kedepan. Padahal idealnya stok kecukupan ARV dikatakan dalam batas aman bisa dapat menyuplai kebutuhan selama 9 bulan.
“Mengapa ketersediaan stok sembilan bulan baru dikatakan aman, karena beberapa obat ARV ini masih di import dan memerlukan waktu yang cukup guna bisa didistribusikan kepada pasien,”katanya.
Putus pengobatan ARV bagi ODHA akan memperburuk tingkat kesehatan pengidap HIV bahkan bisa menemui kematian, juga akhirnya apabila ODHA tersebut melakukan kegiatan beresiko maka dia akan menularkan HIV kepada orang lain.
Status krisis stok tidak hanya ARV jenis TLE saja, ada beberapa obat lain yang masuk dalam status krisis yaitu Abacavir 300mg, Efavirenz 200mg, Liponavir/Ritonavir, Tenofovir 300mg dan Zidovudine Emtricitabine.
“Status stok obat-obatan tersebut semuanya tidak berada dalam batas aman. Yang terendah adalah obat ARV dari jenis Tenofovir 300mg yang tersisa stock untuk 2,5 bulan dan dikonsumsi oleh 29.131 pasien dan obat ARV jenis kombinasi Tenofovir Emtricitabine yang lebih parah lagi hanya dapat bertahan selama 1,5 bulan untuk 5.238 pasien,” ungkapnya.
Dapat dipastikan, bila pengadaan obat tidak segera dilakukan secepatnya, mulai dari bulan Januari 2020 ribuan ODHA akan mengalami putus obat.
Dijelaskan Aditya, bahwa obat ARV merupakan satu-satunya metode terapi pengobatan yang telah terbukti dapat mempertahankan kondisi orang dengan HIV tetap berada dalam kondisi sehat seperti pada orang pada umumnya dan mencegah timbulnya fase AIDS.
Dengan hadirnya pengobatan ARV, epidemic HIV dapat dikendalikan sehingga ini merupakan strategi utama.
Orang dengan HIV yang meminum obat ARV secara teratur memiliki kondisi kesehatan yang tidak berbeda dengan orang lainnya yang tidak terinfeksi HIV.
“Tidak hanya menjadikan kondisi tetap sehat, ARV juga merupakan upaya dalam mengurangi penularan ke orang lain karena ODHA dengan kepatuhan yang baik akan memiliki nilai Viral Load atau jumlah virus dalam tubuh hingga tingkat tidak terdeteksi dan tidak lagi dapat menularkan virusnya pada orang lain,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, angka kasus HIV sampai dengan bulan Oktober 2019 menunjukan bahwa dari estimasi 640.443 ODHA yang ada di Indonesia, baru terdapat 368.239 ODHA yang mengetahui statusnya dan hanya 124.813 orang yang masih dalam pengobatan.
Angka insiden kasus baru HIV di Indonesia juga menunjukkan kekhawatiran.
Di tahun 2016 tercatat insiden kasus baru HIV sebanyak 48.000 kasus, di tahun 2017 sebanyak 49.000 kasus dan di 2018 sebanyak 46.000 kasus baru HIV.
Sementara angka kematian akibat AIDS sendiri juga sangat mengkhawatirkan. Di 2016 ada 38.000 ODHA yang meninggal dunia, 2017 sebanyak 39.000 ODHA yang meninggal dunia dan 2018 ada 38.000 ODHA yang meninggal dunia.
Hal ini merupakan sebuah pertanda yang buruk sebab kondisi kematian akibat AIDS di Indonesia bisa disejajarkan dengan angka kematian akibat AIDS di beberapa negara di Afrika yaitu Uganda, South Africa dan Kenya dimana epidemi AIDS ini sudah dalam tataran meluas di kelompok masyarakat umum. n

