Sukmajaya | jurnaldepok.id
Proses penertiban terkait mega proyek Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok bakal berlanjut ke tahap dua. Jika tidak ada halangan rencananya eksekusi akan berlangsung pada November 2021.
Keputusan ini dilandasi dengan penetapan hukum yang sah, setelah sempat digugat beberapa kali oleh pihak yang mengklaim sebagai penggarap lahan tersebut.
Kuasa hukum proyek UIII, Misrad Setiadji mengatakan, sebagai tindak lanjut putusan pengadilan, maka saat ini sedang dimulai tahapan penertiban dan pengosongan lahan.
“Adapun prosesnya yakni dengan melakukan penilaian lahan dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk mereka-mereka yang menempati lahan dan dianggap memenuhi persyaratan sesuai Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018,” ujarnya, kemarin.
Sesuai dengan instruksi itu maka akan diberikan uang kerohiman.
“Hari ini mulai berjalan. Kami melakukan penilaian selama 10 hari, nanti akan keluar hasilnya dari tim terpadu berapa jumlah untuk masing-masing yang didapat oleh warga yang menempati lahan tersebut,” katanya.
Mereka (warga), kata dia, akan diberikan waktu tujuh hari untuk mengosongkan lahan tersebut. Sedangkan mereka yang tidak memenuhi persyaratan akan dilakukan pengosongan lewat jalur penertiban melalui Pemerintah Kota Depok.
Sementara itu, pengacara dari Kementerian Agama RI, Ibnu Anwarudin mengungkapkan, beberapa waktu lalu sempat mencuat adanya upaya perlawanan hukum dari sejumlah penghuni lahan garapan tersebut.
“Namun saat ini dipastikan pada proses pembangunan proyek UIII tahap dua tidak ada lagi persoalan. Mereka sempat menggugat di PTN Bandung, Nomor 137 Tahun 2019, itu sudah diputus sudah ditolak. Kemudian mereka banding dengan Nomor Banding 191, Tahun 2020 ditolak juga, dan baru saja kasasi Nomor 54 ditolak juga. Jadi artinya sudah inkrah, sudah selesai ya,” tandasnya.
Ibnu menegaskan, mereka kalah karena tidak dapat membuktikan alas hak atas kepemilikan lahan tersebut.
“Maka untuk proses selanjutnya adalah bakal dilakukan pembebasan sebanyak 141 bidang. Jadi ini bukan ganti rugi tapi santunan,”katanya.
Ia menjelaskan, keputusan itu diatur dalam aturan Presiden dengan dasar tanah negara yang akan dibangun sebagai proyek strategis nasional, seperti kampus UIII, maka akan diberikan santunan bagi mereka yang memenuhi syarat.
Salah satunya bagi mereka yang tinggal lebih dari 10 tahun, menguasai secara terus menerus dan memanfaatkan dengan itikad baik.
“Maksudnya itu mereka sadar kalau ini tanah negara, mereka tidak menguasai atau berupaya untuk mengambil alih dari negara,” jelasnya.
Ibnu menambahkan, jika yang bersangkutan bersikeras mencoba mengambil alih dari negara, namun tidak mempunyai legalitas untuk tinggal di situ, maka gugur kewajiban pemerintah untuk memberikan santunan.
Kuasa Hukum Kemenag lainnya, Misrad Setiaji mengatakan, pada tahap satu ada sekira 66 Kepala Keluarga (KK) yang telah mendapat uang kerohiman dengan luas total sekira 46 hektar.
“Kebanayakan lahan kosong. Kalaupun ada bangunan, bangunan semi permanen,” katanya.
Sedangkan pada tahap kedua ada sekira 30 hektar dengan total sekira 141 bidan lahan.
“Alokasi dana saya enggak hapal berapa. Yang jelas SK dasar awalnya ada penilaian publik kepada warga, setelah itu SK Gubernur. Nah SK Gubernur itulah baru pembayaran, berapa jumlahnya saya enggak tahu persis,” ungkapnya.
Namun, kata dia, berdasarkan laporan yang ia terima, jumlah uang santunan masing-masing KK berbeda-beda.
“Ada yang hanya mendapat Rp 3 juta-an, tapi ada juga dengan nilai tertinggi mencapai Rp 1,4 miliar. Ada yang dapat Rp 413 juta, ada cuma Rp 3 juta ada yang Rp 1,4 miliar. Itu pertama dinilai jumlah pohon, ada pohon jatinya ada pohon sengonnya. Kalau bangunan rata-rata tidak permanen, jadi relatif kecil. Kalau tanahnya kosong paling hanya biaya kebersihan saja. Nah yang dapat paling tinggi itu tahap satu, nilai kerohimannya Rp 1,4 miliar. Itu karena pohon jatinya banyak,” timpalnya lagi.
Proyek UIII masih akan berlanjut sampai dengan tahap tiga. Namun belum diketahui secara pasti kapan akan selesai. n Aji Hendro