

Beji | jurnaldepok.id
Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun ini dinilai memiliki potensi sama dengan pilkada sebelumnya. Bahkan bisa menjadi rawan karena terdapat banyak faktor di dalam nya. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Indodata, Danis T Saputra Wahidin. Dirinya juga menyayangkan indikator kerawanan pilkada yang dikeluarkan Bawaslu dinilai tidak valid.
“Kenapa Jabar rawan, ada beberapa faktor. Pertama pertama konstilasi elite dalam menentukan kepala daerah begitu ribet dan sangat lama. Yang kedua munculnya dua pertarungan antara dua purnawirawan militer dan polisi. Ketiga adanya kasus yang secara sengaja atau tidak bisa dikaitkan dengan pilkada. Contohnya penganiayaan ulama oleh orang gila. Ini kan menciptakan keresahan yang tinggi di kalangan masyarakat Jawa Barat yang religius. Hal ini tidak terjadi di daerah manapun, ” jelasnya.
Tak hanya itu, saat ini muncul berita hoax kebangkitan PKI dan semua hal tersebut mampu menciptakan konflik. Menurutnya hal tersebut meresahkan masyarakat karena masyarakat mudah dipantik.


“Hal tersebut tidak terekam dalam indeks kerawanan pilkada yang dikeluarkan Bawaslu. Indeks ini berhenti hanya beberapa bulan sebelum pilkada harusnya berlanjut sampai pilkada selesai dilaksanakan, karena indeks itu kan terus bergerak,” ungkapnya.
Menurutnya ada kesalahan metode intelektual dan ilmiah untuk menciptakan indeks kerawanan itu dan ini harus diperbaiki pemerintah pusat.
“Kerawananya misalnya konflik SARA yang bisa seperti konflik ambon atau bisa lebih dahsyat lagi seperti yang terjadi du Syiria. Ini bisa saja terjadi kalau tidak diantisipasi. Saya bersyukur ini sudah diantisipasi oleh keamanan, seperti penangkapan MCA (Muslim Cyber City),” katanya.
Meski demikian ia menambahkan ada hal yang perlu dikoreksi pemerintah. Dirinya menilai pemerintah lambat menangani hal tersebut. “Pemerintah lambat karena support systemnya bermasalah, ” ucapnya.
Danis mengatakan Jawa Barat menjadi menjadi wilayah yang eye catching lantaran daerah tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar.
“Jawa Barat padat dan pemilihnya banyak. Jawa Barat secara politik adalah wilayah yang ingin dikuasai oleh berbagai kepentingan untuk pilpres,” ungkapnya.
Dirinya memaparkan jika pilkada 2018 berpotensi sama dengan pilkada yang sebelumnya. Dari penelitian yang dilakukan pihaknya akan ada penyimpangan-penyimpangan yang tidak memacu konflik yang tidak begitu besar di masyarakat.
“Potensi konflik seperti pilkada DKI sebelumnya yang kemudian berdampak pada isu politik, SARA, ketakutan akan munculnya kebangkitan PKI yang kemudian memunculkan dinamika pilkada menjadi sedikit memanas. Saya melihat itu ditangani dengan baik oleh pemerintah,” paparnya.
Pihaknya menekankan ke depan indeks kerawanan pilkada yang dikeluarkan Bawaslu mampu mengoreksi data secara akurat.
“Indeks itu tidak valid sama sekali, perlu adanya evaluasi, perbaikan sistem menjadi lebih online, kemudian mampu mengkoreksi secara akurat. Jangan sampai masyarakat dirugikan oleh sebuah hasil riset atau sebuah indikator antisipatik yang tidak baik dan tidak akurat,” terangnya.
Pihaknya juga menyoroti adanya anomali politik dalam pilkada. Ia mengungkapkan jika anomali politik sudah ada sejak 2005. Anomali politik, money politik, politik dinasti itu ada dan eskalasinya menguat.
“Pilkada serentak adalah upaya meminimalisir tapi ternyata belum berubah sama sekali. Berikan lah kesempatan bangsa ini belajar dan mengevaluasi diri. Jika pemilihan daerah diserahkan kembali ke DPRD untuk menjadi solusi biarlah itu menjadi solusi. Tapi harus melalui evaluasi akademik dan ilmiah terhadap pilkada yang dilakukan langsung dan serentak itu,” tutupnya.nNur Komalasari
