Pancoran Mas | jurnaldepok.id
Pernyataan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas yang menganalogikan suara adzan dengan gonggongan anjing sangat melaukai hati ummat Islam. Pernyataan tersebut juga mendapat kecaman dari lapisan masyarakat akar rumput hingga kalangan elite.
“Kami malah mempertanyakan status agamanya Menteri Agama, Islam atau bukan dia itu. Ini sudah membuat gaduh dan sangat melukai hati umat Islam,” ujar H Rahmat Mulyadi, Ketua Inisiator Juang Ulama (Ijtima) Kecamatan Sawangan, Kamis (24/02).
Dikatakannya, Menteri Agama tidak perlu mengatur pengeras suara masjid maupun musolah. Terlebih, penduduk Indonesia mayoritas muslim.
“Silahkan saja kebijakan itu diterapkan di wilayah yang penduduknya minoritas muslim seperti di Bali maupun Papua. Tapi kalau mayoritas penduduk di suatu wilayah itu mayoritas muslim, enggak perlu diatur,” tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, di setiap wilayah yang mayoritas muslim ketika datang waktu adzan, malah meminta warga sekitar untuk adzan.
“Bahkan pengeras suara juga bagus-bagus, karena memang syiar. Ini hakekatnya panggilan Allah, Allah pinjam melalui lisannya muazin dan pengeras suara ini wasilah agar masyarakat yang sedang beraktivitas duniawi dan jauh dari masjid atau musolah bisa mendengar suara adzan,” paparnya.
Hal senada diungkapkan oleh Anggota DPRD Depok, Khairulloh Ahyari. Ia mengatakan, pernyataan Menteri Agama tersebut tidak pantas dilontarkan dari mulut seorang pejabat publik.
“Pilhan kata yang dilontarkan oleh Menag itu tidak bijak dan tidak tepat. Karena bagaimana pun antara suara adzan dan gonggongan anjing itu sesuatu yang berbeda. Yang satu panggilan sangat sakral, disitu disebut nama Allah dan nama Nabi Muhammad, panggilan untuk beribadah. Sementara yang satu merupakan suara dari binatang yang dianggap umat Islam najis,” tandasnya.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itupun menilai wajar jika masyarakat khususnya umat Islam bereaksi.
“Sebaiknya Menteri Agama lebih bijak menyampaikan pernyataan di ruang publik, karena beliau pejabat publik. Pejabat publik harus menjadi contoh dalam berbicara. Suara adzan ini sudah ada sejak berabad-abad, tak bijak jika dibandingkan dengan suara binatang,” katanya.
Khairulloh pun mendukung langkah masyarakat yang saat ini tengah menempuh jalur hukum untuk melaporkan Menteri Agama atas dugaan penistaan agama.
“Silahkan kalau melaporkan dengan cara yang baik, tetap pada koridor hukum. Kami juga mengimbau masyarakat tidak terpancing dan tetap tenang serta tidak mengeluarkan statemen yang merendahkan Menteri Agama, tetap dengan cara yang santun, begitu juga kritik dengan cara yang santun,” ungkapnya.
Sementara itu Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo tetap akan mempolisikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas meski pihak Kementerian Agama sudah melakukan klarifikasi ihwal pernyataan dugaan penistaan agama Yaqut soal suara adzan dan gonggongan anjing.
Roy berencana melaporkan Yaqut sekitar pukul 15.00 WIB di Polda Metro Jaya, Jakarta hari ini (24/2).
“Tetap lanjutkan sesuai rencana,” kata Roy seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (24/2).
Roy mempersilakan bila pihak Kemenag melakukan klarifikasi atas pernyataan Yaqut tersebut. Namun, Ia menilai pihaknya tak salah persepsi dan Yaqut tetap salah telah melontarkan pernyataannya tersebut.
“Jadi kalau ada “klarifikasi” tersebut, rasanya tidak demikian yang diterima oleh masyarakat,” kata Roy.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar, menegaskan bahwa Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas sama sekali tidak membandingkan suara adzan dengan suara gonggongan anjing.
Ia menegaskan kabar Yaqut membandingkan dua yang berbeda tersebut sangat tidak tepat.
“Menag sama sekali tidak membandingkan suara adzan dengan suara Anjing, tapi Menag sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara,” kata Thobib dalam keterangan resminya, Kamis (24/3).
Yaqut, kata Thobib, saat ditanya wartawan tentang Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala hanya menjelaskan bahwa hidup di masyarakat yang plural diperlukan toleransi. Sehingga perlu pedoman kehidupan harmoni tetap terawat dengan baik, termasuk tentang pengaturan kebisingan pengeras suara yang bisa membuat tidak nyaman.
“Dalam penjelasan itu, Gus Menteri memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya, makanya beliau menyebut kata ‘misal’. Yang dimaksud Gus Yaqut adalah misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara,” kata dia.
Thobib menilai Yaqut saat itu hanya sekadar mencontohkan bahwa suara yang terlalu keras apalagi muncul secara bersamaan di masjid atau musala, bisa menimbulkan kebisingan dan dapat mengganggu masyarakat sekitar. n Rahmat Tarmuji