Sempat Deadlock, Listrik Di Aruba Nyala Lagi

453
Petugas PLN Depok saat hendak menyambungkan listrik di Perumahan Aruba

Pancoran Mas | jurnaldepok.id
Pemasangan aliran listrik yang dilakukan oleh petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN) Area Kota Depok, Selasa (25/9) terhadap tujuh rumah di Perumahan Aruba The Resindece kembali Deadlock.

Dimana para petugas PLN yang sudah membawa para teknisi namun masih gagal karena bok KWH meter atau panel masih digembok pihak pengembang. Bahkan pihak manajemen dengan kekeh tidak memberikan izin kepada Manajer PLN, Marry bersama petugasnya membuka box panel dan menyalakan aliran listrik.

Pihak manajemen beralasan yang berhak menyalakan aliran listrik terhadap tujuh rumah itu adalah tim atau petugas dari pengembang perumahan.

Mendapatkan hal tersebut akhirnya pihak PLN kembali melakukan musyawarah secara alot dengan pihak pengembang dan warga perumahan Aruba.

Sekitar pukul 16:00 WIB akhirnya pihak pengembang perumahan menyalakan aliran listrik setelah petugas pengembang perumahan datang dan menyalakan aliran listrik.

Susan Khaerany, Supervisor Pelanggan PLN Area Kota Depok mengatakan kedatangannya ke perumahan Aruba ini untuk kembali menyalakan aliran listrik yang sebelumnya dimatikan oleh pihak pengembang.

“Dari hasil keputusan rapat di Polres pihak pengembang bersedia kembali menyalakan listrik yang dipadamkan, akhirnya pihak pengembang bersedia menyalakan aliran listrik,” ujarnya, Rabu (26/9).

Sebelumnya Humas PLN area Kota Depok, Setyo Budiono mengatakan bahwa pihaknya sudah beberapa kali mendatangi perumahan tersebut untuk melakukan penyambungan aliran listrik sesuai dengan pengaduan warga.

“Kami PLN sudah dua kali ke lokasi Aruba dan akan menyambung listrik tersebut sesuai dengan pengaduan warga ke PLN. Ternyata tidak diperbolehkan oleh pihak keamanan dan juga Lawyer pengembang,” ujarnya, Selasa (25/9).

Dia mengatakan, pemutusan aliran listrik sejumlah rumah di Perumahan Aruba itu diminta atas nama perwakilan pengembang. Pihaknya tidak serta merta memutus pasokan listrik pada pelanggan tanpa dasar yang jelas.

“Yang memutus itu dari pengembang, karena menurut versi pengembang ada persoalan internal yang belum terselesaikan. Kalau dari kami tidak memutus,” katanya.

Dia meluruskan bahwa kabel aliran listrik di perumahan tersebut disimpan dibawah tanah.
Investasi atas infrastruktur tersebut berasal dari pihak pengembang. Dengan demikian, yang memiliki wewenang atas hal itu adalah pengembang.

“Investasi penanaman kabel bawah tanah itu dari pengembang. Mereka yang meminta jalur khusus (bawah tanah,red) dan itu harus dibuat sendiri oleh pengembang,” ucapnya.

Juru bicara warga Perumahan Aruba Residence, Vid Adrison kepada wartawan mengatakan, aksi damai ini sebagai peringatan 10 hari pemutusan listrik sebagian warga di perumahan mewah itu.

“Jalur listrik tujuh rumah milik warga kota di Komplek Perumahan Aruba The Residence diputus sepihak sejak, Rabu (12/9). Dimana pengembang memutus jaringan listrik melalui panel dan kemudian menggembok boks panel tersebut,” terangnya.

Warga yang menjadi korban, kata dia, sudah melaporkan kejadian itu ke PLN pada hari yang sama. Petugas PLN pun datang, namun dihalangi oleh security untuk masuk area perumahan.
Pihak developer mengancam menuntut PLN jika menyambung kembali aliran listrik pelanggan.

“PLN menyarankan dibuatkan laporan pengaduan ke Polres Depok agar dapat ditindaklanjuti.
Hingga malam ke-10 ini, petugas PLN belum bisa menyambung kabel di panel dekat rumah warga,” ungkapnya.

Motif yang melatarbelakangi kejadian ini adalah ketidakcocokan antara developer dengan warga di lingkungan RT 05/RW 08 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoranmas.

Di mana, pengembang masih merasa memiliki hak pengelolaan, sementara warga menginginkan swakelola karena tindakan wanprestasi pengembang terhadap pengelolaan fasilitas perumahan.

Masalah makin rumit saat developer menaikkan sepihak Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
Harga IPL naik dari Rp 200 ribu per rumah per bulan menjadi rata-rata Rp 1 juta per rumah per bulan.

“Karena kesewenang-wenangan ini, kami memilih tidak membayar IPL sampai ada kata sepakat, dan meminta Pemda untuk mengambil alih PSU sesuai dengan Perda 14 Tahun 2013,” jelasnya.

Memang, setelah ada protes, IPL warga kemudian turun menjadi rata-rata Rp 700 ribu per bulan.

“Kami mempertanyakan penentuan tarif IPL ini, karena warga sama sekali tidak dilibatkan, dan ternyata setelah dijabarkan, banyak komponen yang menjadi tanggungjawab pengembang dibebankan ke warga, misalnya gaji pengelola yang jumlahnya cukup besar,” pungkasnya. n CR1-JD

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here