



Oleh : H. Khairulloh Ahyari, S.Si
Sekretaris MUI Kota Depok
“Sesungguhnya aku diutus, untuk memuliakan akhlak manusia”
(Hadits)
Hujjatul Islam Imam al Ghazali, ketika membicarakan tentang akhlak membaginya dalam dua hubungan. Yang pertama, akhlak seorang hamba ketika berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah). Yaitu agar seorang manusia mempunyai sikap dan kepribadiaan yang patuh kepada perintah-perintah-Nya serta menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Akhlak yang pertama ini akan menjadikan seorang manusia berjalan di muka bumi dengan kesadaran sebagai seorang abdi atau hamba Allah SWT (‘Abdullah).


Yang kedua adalah akhlak seorang hamba ketika berhubungan dengan sesama hamba (hablun minannas). Sebagai wakil Allah (khalifah Allah) di atas alam semesta ini, manusia akan berhubungan dengan sesama manusia, dengan binatang, dengan tumbuh-tumbuhan serta dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah akhlak dalam lapangan kehidupan manusia yang lain seperti di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Secara sederhana, akhlak yang diadopsi dari bahasa arab khulq diartikan sebagai perangai, tingkah laku atau sikap seseorang. Adapun kebanyakan ulama mendefinisikannya sebagai sikap dan tingkah laku yang menyatu pada diri manusia dan membentuk kepribadiannya. Akhlak biasanya terbentuk dalam jangka waktu yang panjang serta dengan melalui proses yang berulang-ulang.
Akhlak terpuji seperti jujur, berani, tegas, ramah, sabar, kasih sayang dan dermawan tidak mungkin secara tiba-tiba dimiliki oleh seseorang. Sifat-sifat tersebut melekat dan menjadi karakteristik karena proses penanaman nilai serta pembiasaan yang terus-menerus dari kecil hingga dewasa. Begitupun akhlak tercela yang dimiliki oleh seseorang seperti sombong, suka menipu, curang, kasar dan lainnya adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung sangat lama.
Oleh karena itu sangat penting menanamkan dan menjaga kebiasaan-kebiasan terpuji yang dilakukan oleh anak-anak, serta mencegah mereka melakukan dan terbiasa dengan hal-hal yang tercela. Bila sejak dini sudah tertanam sikap-sikap terpuji, maka di masa depan seseorang akan berakhlak terpuji. Dengan demikian ia akan dikenal sebagai orang yang berkepribadian dan berkarakter terpuji.
Bila orang-orang yang berakhlak terpuji berkumpul dan menjadi suatu masyarakat, maka masyarakat itu disebut sebagai masyarakat yang berakhlak atau berkarakter terpuji. Jika masyarakat berakhlak terpuji itu bersatu menjadi suatu bangsa, maka bangsa itu akan dikenal sebagai bangsa yang berakhlak terpuji.
Demikian juga sebaliknya, jika seseorang berprilaku curang, korup, tidak disiplin, sombong, malas dan boros, maka ia akan dikenal sebagai seseorang berakhlak tercela. Masyarakat yang di dalamnya terdiri dari orang-orang yang berakhlak tercela, akan disebut sebagai masyarakat berakhlak tercela. Dan bangsa yang terdiri dari masyarakat yang berakhlak tercela, maka akan dikenal sebagai bangsa berakhlak tercela. Dan itulah suatu bangsa yang perilaku tercela seperti kebiasaan korupsi, berperilaku tidak tertib dan tidak disiplin, boros, malas, mau menang sendiri, dan merasa benar sendiri, serta sikap buruk lainnya menjadi kebiasaan yang dilakukan sehari-hari oleh penduduknya.
Menjelang akhir ramadhan seperti saat ini. Setelah sebulan berpuasa, sebulan menahan hawa nafsu, sebulan membiasakan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, maka selayaknya ada bekas sangat dalam yang melekat pada diri insan yang benar-benar melaksanakanamaliah ramadhan. Menjadi pribadi bertaqwa secara sesungguhnya. Semoga ramadhan benar-benar telah kita lalui dengan mereguk kepuasan ruhani disebabkan rahmat dan magfriah serta pemenuhan janji-janji Allah kepada kita dapat diraih. Semoga setelah ramadhan akhlak kita semakin baik. Akhlak masyarakat semakin terpuji dan bangsa kita semakin bermartabat. semoga
Wallahu’alam bisshowab.

