



Oleh: KH Syamsul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok
Nikmat yang merupakan serapan kata dari bahasa Arab, secara generik berkaitan dengan makanan, perasaan, dan pemberian. Makanan yang dikatakan enak atau lezat tak lain itu artinya nikmat. Tidur nyenyak dapat dipahami mendapat nikmat yang terkait dengan perasaan dan kenyamanan. Mendapat nikmat hidup, punya keluarga, rezeki, dan mampu beribadah itu adalah nikmat terkait pemberian Allah.
Lupa dalam bahasa agama adalah nisyan. Secara bahasa, lupa menurut pandangan Syaikh al-Fasyani dalam al-Majalis al-Saniyah adalah tidak ingat. Penyebabnya, kata beliau, karena kacaunya pikiran atau lalai. Dalam fikih, orang lupa dimaafkan. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menghapus dosa umatku ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa” (HR. Ibnu Majah).


Inilah pertama-tama yang dimaksud dengan nikmat lupa. Artinya sifat lupa yang ada pada manusia tak lain adalah nikmat yang Allah anugerahkan. Allah berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah (datangnya)” (QS. al-Nahl/16: 53). Bagi pengarang Tafsir Jalalain, seperti halnya nikmat ingat, nikmat lupa tidak ada yang kuasa mendatangkannya kecuali Allah.
Tampaknya, nikmat lupa ini juga patut disyukuri. Misalnya, orang yang mendapatkan pahitnya kehidupan pada masa lalu kemudian merasakan manisnya hidup pada masa kini karena adanya nikmat berupa kemampuan melupakan segalanya. Orang yang menyesal karena telah berbuat salah, dengan nikmat lupa dia dapat move on untuk menggantinya dengan berbuat baik.
Terkait hal ini, Nabi bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Turmudzi). Hadits ini dapat dipahami bahwa keburukan itu bukan sekadar untuk dilupakan tapi diiringi dengan kebaikan. Kebaikan dapat menghapus keburukan.
Pada keadaan lain, musibah yang mendera akan terasa reda karena Allah mengirimi nikmat lupa. Tanpa itu kemalangan demi kemalangan tak bisa dilupakan. Perasaan duka selalu bersarang di dada. Tidak ada solusinya. Benar kalau dikatakan manusia adalah tempat bersarangnya lupa. Dengan nikmat lupa orang bisa bahagia dan bersyukur kepada Allah.
Nikmat lupa selanjutnya dapat dipahami dari penggalan ayat berikut ini, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah/2: 286). Artinya, perbuatan dosa yang dilakukan karena lupa, di mata Allah, dinilai seperti tidak dilakukannya.
Berbeda dengan perbuataan baik atau kewajiban yang lupa dikerjakan, di mata Allah, tidak lantas dinilai telah digugurkan oleh sebab lupa. Inilah spektrum makna nikmat lupa bagi kebaikan manusia. Maha benar firman Allah, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran/3: 191).*

