Khutbah Jumat: Keislaman Yang Sempurna

106
KH Syamsul Yakin

Oleh: KH Syamsul Yakin
Pengasuh Ponpes
Darul Akhyar Kota Depok

Dalam al-Mawaidz al-Ushfuriyah Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan hadits Nabi yang bersumber dari Ali bin Husain. Nabi bersabda, “Ada empat hal yang siapa saja memilikinya, maka sempurnalah keislamannya, kendati dari ujung rambut hingga ujung kaki dilumuri dosa: (yaitu) jujur, bersyukur, malu, dan berakhlak baik”.

Tentang yang pertama, keislaman yang sempurna adalah keislaman orang jujur. Dalam sebuah fragmen hadits Nabi, disebutkan bahwa jujur itu berujung surga, “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur” (HR. Muslim).

Secara praksis, spektrum jujur di antaranya dalam perdagangan. Nabi mengabarkan, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang jahat, kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur” (HR. Turmudzi). Selain itu jujur juga meliputi orang yang diangkat jadi pemimpin, kepala rumah tangga, termasuk jujur pada diri sendiri.

Tentang yang kedua, keislaman yang sempurna adalah keislaman orang yang selalu bersyukur. Namun sayangnya betapa sedikitnya orang yang mampu bersyukur. Allah pertegas, “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur” (QS. Saba’/34:13).

Dalam al-Quran Nabi yang dipuji oleh Allah sebagai hamba yang banyak bersyukur adalah Nabi Nuh. Allah berfirman, “Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur” (QS. al-Isra’/17: 3).

Sejatinya syukur itu berguna untuk orang yang bersyukur itu sendiri. Allah memberi informasi, “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Luqman/31: 12).

Tentang yang ketiga, keislaman yang sempurna adalah keislaman orang yang punya malu. Dalam sejarah, Nabi diketahui sebagai sosok pemalu. Dari Abu Said, dia berkata, “Nabi lebih pemalu dari perawan dalam pingitan. Jika beliau tidak menyukai (sesuatu) maka akan kami ketahui dari wajahnya” (HR. Bukhari).

Malu itu penting tidak hanya ditinjau dari sisi normatif, tapi juga dari sisi estetik. Seperti sabda Nabi, “Malu akan memperindah sesuatu, sedangkan kekejian akan memperjelek sesuatu” (HR. Turmudzi). Laki-laki pemalu itu indah, namun lebih indah lagi adalah perempuan pemalu.

Tentang yang keempat, keislaman yang sempurna adalah keislaman orang yang berakhlak baik. Akhlak, menurut Ibnu Maskawaih dalam Tahdzibul Akhlaq adalah respons spontan. Karena itu akhlak adalah kebaikan genuine (asli), tidak bisa dibuat-buat, namun bisa dipelajari dan diajarkan. Indikatornya, sabda Nabi, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlak” (HR. Ahmad).

Semoga keislaman yang sempurna ada pada diri kita yang jujur, penuh syukur, punya rasa malu, dan berakhlak baik.*

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here