Laporan: Aji Hendro
Rumah Cinta Wayang (Cinwa) yang berlokasi di Jatijajar, Kecamatan Tapos, memproduksi Film Potehi.
Produser film documenter, Dwi Woro Retno Mastuti dalam keterangaannya kepada wartawan mengatakan, Wayang Potehi adalah bagian dari keragaman budaya Indonesia yang terbentuk dari proses panjang akulturasi budaya Tiongkok dan Jawa.
“Saat ini wayang Potehi dalam kondisi kritis karena menghadapi kepunahan akibat gempuran budaya asing dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap seni pertunjukan wayang. Belum ada upaya serius untuk melakukan regenerasi wayang Potehi,” ujarnya.
Di era visual art ini, Rumah Cinta Wayang (Rumah Cinwa) bersama Kaldera Creatives di Depok, menginisiasi film dokumenter Po Te Hi sebagai salah satu upaya strategis untuk menyelamatkan sekaligus menjaga keberlangsungan wayang Potehi.
“Upaya ini merupakan langkah Rumah Cinwa untuk menunjukkan keberpihakkan terhadap UU no. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,”katanya.
Film dokumenter ini dibuat berdasarkan buku Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia (2014) karya Dwi Woro Retno Mastuti.
Perjalanan penulis buku Wayang Potehi Gudo dirangkai secara apik penuh warna. Tokoh dalam film ini diperankan oleh boneka-boneka Potehi yang dipahat oleh pengrajin Potehi.
“Karakter tokohnya sesuai dengan wajah tokoh manusia yang memiliki peran dalam film tersebut,” paparnya.
Dalam UU tersebut dinyatakan berbagai hal antara lain perlindungan, penyelamatan, inventarisasi, pengembangan, pemanfaatan budaya yang dapat menjadi arah dan pedoman kehidupan masyarakat dalam keikutsertaannya menjaga keberlangsungan sebuah produk budaya.
“Proses produksi film ini berlangsung di 10 kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali selama kurang lebih tiga bulan sejak Juli-September 2022,” jelasnya.
Para pelaku film ini adalah Afdal Ridho Arman (sutradara & penulis), Dwi Woro Retno Mastuti (peneliti, penggiat budaya, produser film dokumenter), M. Bilal Radithya (ass. produser & sutradara), Fadhel Reksa Fadillah ( penata kamera), Ekky Rizkani (musik), Afdal Ridho Arman & Jonathan Hans (penyunting gambar).
Sebagai film drama dokumenter, film ini menjadi alternatif materi edukasi seni pertunjukan untuk berbagai kalangan.
“Menyaksikan film ini, kita teringat pada drama boneka Si Unyil, wayang golek, wayang gantung, yang perlu perhatian dan kepedulian kita semua,” ungkapnya.
Bagaimana sebuah strategi ketahanan budaya memperkuat identitas dan karakter bangsa di tengah badai teknologi dan globalisasi yang makin menderu.
“Jawabannya ada di film dokumenter PO TE Hi. Tak wayang maka tak sayang. Tak sayang wayang melayang,” pungkasnya. n Aji Hendro