Ini Kisah Perjalanan Hidup KH. Muhamad Ali, Ayah dari Calon Wali Kota Depok Supian Suri

14
KH. Muhamad Ali

Penulis
H. Ma’sum
Putra Pertama KH. Muhamad Ali

Almarhum KH. Muhamad Ali bin H. Abd. Kodir, lahir di Bogor pada, 17 Agustus 1932 dan wafat pada, 9 Juli 2011. Sejak usia enam tahun KH Ali mondok dan menimba ilmu di Pondok Pesantren Maulana Hasanudin, Pondok Manggis, Bojong Gede, Kabupaten Bogor.

Sampai usia 21 tahun, ia belajar dengan Al Ustadz Raden Idrus bin Raden Sajeli yang populer dengan sebutan mualim UNG, selanjutnya diminta oleh gurunya untuk belajar di Mama Ajengan Ma’sum Dredet, Kota Bogor selama empat tahun.

Almarhum Mama Ma’sum adalah eksponen PUI di era tahun 1955 pernah beberapa waktu mondok di Ponpes Al Masturiyah berguru dengan Almagfurlah Kiai Ajengan Masturo dan tidak bisa melanjutkan karena ayahandanya H Abd Kodiak sakit permanen dan pulang untuk mengurusnya sampai akhir khayatnya, sambil mengurus orang tua yang sakit, beliau kembali ke Ponpes Maulana Hasanudin.

Tahun 1966 atas restu gurunya R. Idrus dan Mama Ma’sum, KH Ali mendirikan madrasah yang diberi nama Al Hidayah, mengingat belum adanya lembaga pendidikan di kampungnya dan lembaga itu eksis hingga saat ini.

Ia juga merintis pembangunan Masjid ATAQWA Kp. Sawah dan Masjid Baiturrahman Kp. Jati hingga Masjid Al Barkah di tahun 1981. Semasa di ponpes tahun 1955, beliau bergabung dengan Pemuda Ansor, bahkan penulis pernah melihat peci hitam Ansor dan emblemnya dari bahan beludru yang sudah luntur.

Awal era Orde Baru tahun 1971, KH Ali aktivis NU, bahkan penulis dan temannya di madrasah di ajarkan menggambar tulisan logo NU pada mata pelajaran KHOT.

Sejak 1969, selaku ustadz kampung beliau masih aktif belajar sebagai santri kalong kepada beberapa guru diantaranya Sayidul Walid Habib Abdurahman Asegaf, Habib Ali Albahar dan sering belajar menemui KH R Muhamad Falak bin Abas, Bogor ikut juga mengaji dengan Habib Mustofa Al Adha dan aktif di pengajian Kwitang. Beberapa pengajian yang dirintis dikampungnya sejak 1956 masih ada hingga kini dilanjutkan oleh KH Mudrikah.

Di era 1970, beliau aktif di madrasah sebagai kepala sekolah. Tahun 1977 beliau diminta pemerintah sebagai Pjs. Kepala Desa karena terjadi pemekaran Desa Kalibaru dan Desa Kalimulya, hingga tahun 1995.

Sebagai Kepala Desa yang tanpa diberi modal aset oleh pemerintah, maka beliau menjadikan salah satu ruangan madrasah sebagai kantor dan mengangkat tiga orang guru sebagai staf desa.

Perjuangannya membangun desa penuh dengan perjuangan yang maha berat, baik dari masyarakatnya maupun infrastruktur. Saat itu sebagian masyarakat Kalimulya belum mengenal ajaran agama sehingga perjudian dan maksiat lainnya menjadi kebiasaan lama.
Beliau lembut namun tegas menjalani tugasnya sebagai umaro sekaligus ulama dan terus merintis pengajian di semua sudut desa. Bahkan tugasnya sebagai Kepala Desa lebih sedikit dari guru ngaji.

Dengan pendekatan akhlak dan komunikasi yang intens kepada masyarakat, ia mampu menggerakan masyarakat berkontribusi dengan membeli tanah sebagian dan diwakafkan sebagian, hingga mampu membelikan tanah untuk satu kantor Kepala Desa, satu buah Puskesmas, rumah dinas dokter, rumah dinas Babinsa dan Binmas serta tanah untuk enam bangunan SD yang sekarang menjadi SD Kalimulya 1 sampai Kalimulya 6.

Tak hanya itu, KH Ali juga membangun satu MI Alhidayah 2 yang terletak di Kalimuya, Kecamatan Cilodong. Proses pengadaan tanah untuk sarana tersebut bukan hal yang mudah, Bahkan penulis merasa sedih ketika ibunda Hj. Lani Nihayati istri KH Ali sering diminta kalung emasnya dijual untuk membeli tanah SD, memang tak seluruhnya dari beliau, namun ada partisipasi masyarakat yang diajak berkonstribusi.

Tanah Kantor Kelurahan Kalimulya saat ini adalah mutlak pemberian warga yang bernama H Daing, pemberian itu bersifat pribadi seluas 1.500 meter, namun beliau gunakan lagi untuk Kantor Kelurahan.

Pada tahun 1995, beliau membangun sebuah Madrasah Tsanawiyah Alhidayah dengan mewakafkan tanah halaman rumahnya seluas 1.500 meter. Pada perjalanannya, madrasah tersebut diberikan kepada negara mengingat ada SK Menteri Agama hingga tiga tahun Kemenag Kab Bogor belum mampu membeli tanah.

Beliau dengan penuh keikhlasan menyerahkan tanah dan gedung enam lokal serta 326 siwa yang sekarang menjadi MTs Negeri Kota Depok. Demikian sekilas napak sejarah Almarhum KH Muhamad Ali. Semoga Allah SWT menerima semua amalnya.

Terakhir penulis menyampaikan, bahwa sejarah tersebut ia tulis karena banyaknya permintaan dan keingintahuan masyarakat akan sosok KH. Ali, meskipun diakuinya sangat berat dalam menulisnya.

Tak lupa sebagai seorang kakak, penulis berharap semoga adiknya yakni Dr.H. Supian Suri, MM, Allah ijabah hajatnya menjadi Wali Kota Depok periode 2025-2030. n

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here