
Oleh: KH. Syamsul Yakin
Penulis Buku “Tafsir Surah Ar-Rahman”
Tentang retorika dakwah Rasulullah terlihat dari firman Allah yang diajarkan kepada beliau, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku tidak mampu (menolak) mudharat dan tidak (pula mampu mendatangkan) kebaikan kepadamu” (QS. al-Jin/72: 21). Untuk memahami secara lebih rinci, ayat ini dapat dibagi menjadi dua penggal.
Penggal pertama, “Sesungguhnya aku tidak mampu (menolak) mudharat”. Menurut pengarang Tafsir Jalalain, mudharat dalam ayat ini semakna dengan keburukan. Sementara di dalam Tafsir Munir karya Syaikh Nawawi mudharat dimaknai dengan kematian. Sementara itu al-Maraghi di dalam tafsirnya mengatakan kata itu berarti bencana.
Dengan demikian, secara retoris, Rasulullah berkata kepada orang-orang musyrik yang menolak dakwah beliau seperti ini, “Tidak ada seorang makhluk pun yang mampu menolak mudharat, bahaya, dan kematian selain Allah. Apabila aku berbuat durhaka kepada Allah, maka tidak ada satu makhluk pun yang bisa menyelamatakanku dari siksa-Nya. Begitu juga apabila kalian berbuat durhaka kepada Allah, itu menjadi tanggung jawab kalian. Aku hanya mengajak kalian kepada kebaikan”.
Secara retoris, Rasulullah juga mengatakan, “Kendati aku adalah Rasulullah yang diutus kepada seluruh makhluk, akan tetapi aku adalah seorang manusia. Sebagai manusia, aku tidak mampu menjatuhkan mudharat kepada orang yang menolak dakwah dan melukai aku. Hanya saja aku ingatkan kepada kalian bahwa siapa saja yang berbuat durhaka kepada Allah dan rasul-Nya akan ditempatkan di neraka jahanam”. Tentu retorika dakwah Rasulullah ini membuat kaum musyrik diam seribu bahasa.
Di samping itu, seolah-olah Rasulullah mengatakan, “Aku tidak berkuasa memaksa kalian untuk beriman kepada Allah dan percaya kepadaku. Aku hanya seorang rasul. Tugasku tak lain hanya menyampaikan dakwah. Kalian akan menanggung pilihan kalian masing-masing. Kalau terjadi mudharat yang menimpa kalian, aku tidak mampu menolak mudharat yang telah ditetapkan Allah menimpa kalian. Itu urusan kalian. Sebagai manusia, aku tidak diberi kuasa untuk mengatur satu urusan pun”.
Penggal kedua, “Dan tidak (pula mampu mendatangkan) kebaikan kepadamu” (QS. al-Jin/72: 21). Kata “al-rasyad” yang dimaksud di dalam ayat ini, bagi pengarang Tafsir Jalalain, adalah kebaikan. Sementara, bagi Syaikh Nawawi lebih luas lagi, yakni mencakup hidayah dan kehidupan. Artinya, Rasulullah tidak dapat mendatangkan kebaikan, hidayah, dan kehidupan. Yang mampu melakukan semua itu hanya Allah belaka.
Menurut al-Maraghi, seakan-akan Rasulullah diperintahkan Allah untuk berkata kepada mereka yang menolak dakwah beliau, “Yang aku inginkan adalah kebaikan, hidayah, dan kebaikan bagi kalian. Namun, sebaliknya kalian berlaku buruk kepadaku. Aku sendiri tidak dapat menimpakan malapetaka kepada kalian. Sebaliknya, aku tidak pula mampu mendatangkan kebaikan yang telah dihalangi oleh Allah, baik dalam urusan dunia maupun agama. Hanya Allah yang berkuasa melakukan hal itu”.
Di dalam retorika dakwah Rasulullah ini, terindikasi beberapa arti. Pertama, terdapat ancaman, namun yang mengancam bukan Nabi. Sebab Nabi tidak dapat mendatangkan keburukan. Kedua, terdapat harapan berupa kebaikan, namun yang memberikan kebaikan itu bukan Nabi. Sebab Nabi tidak dapat mendatangkan kebaikan. Berdasarkan kedua hal inu, tidak ada alasan bagi mereka yang menolak dakwah Rasulullah untuk berbuat aniaya. Rasulullah dalam hal ini sedang menunjukkan ke-Maha-Kuasa-an Allah di hadapan kaum musyrik, baik kaum Quraisy maupun orang-orang Thaif.
Selanjutnya, dalam pandangan al-Maraghi, dj dalam retorika Nabi juga terdapat isyarat bahwa Rasulullah tidak akan pernah berhenti berdakwah untuk mengesakan Allah, membongkar paham animisme, dinamisme, dan paganisme yang telah lama membatu. Sekeras apapun tantangan dan penolakan mereka, Rasulullah tetap tegar. Selain itu, tampak benar retorika dakwah Rasulullah begitu menawan.*








