Ekspedisi Patriot UI Merekam Jejak Guru Perintis di Kawasan Transmigrasi Kabupaten Mesuji, Lampung

106
Ibu Sri Sukarti saat menerima penghargaan Kepala Sekolah Dedikatif dari Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (UI).

Mesuji, 4 September 2025

“Kami perintis, bukan pewaris”
Kisah keberhasilan program transmigrasi di Kabupaten Mesuji, Lampung tidak hanya tentang pemerataan ekonomi dan infrastruktur, melainkan juga tentang perjuangan di sektor pendidikan. Di baliknya, ada pahlawan tanpa tanda jasa yang berdedikasi sejak tahun 1998, membangkitkan kesadaran pendidikan masyarakat. Hal ini berhasil ditangkap oleh Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (UI) saat melakukan aksi pemetaan riset dan potensi ekonomi demi mensukseskan asta cita di kawasan transmigrasi 2025.

Ibu Sri Sukarti, wanita asal Jawa Timur, datang sebagai Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP) pada tahun 1998. Misinya bukan hanya untuk membuat masyarakat transmigran beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi juga membangun fondasi pendidikan yang kuat. Hal ini dilatarbelakangi oleh minimnya kesadaran pendidikan dan kurangnya tenaga pendidik bergelar sarjana pada masa awal transmigrasi. “Masyarakat tidak peduli pendidikan, anak-anak juga beberapa tidak menggunakan alas kaki, tidak ada kedisiplinan, sumber daya manusianya pun belum cukup memadai.

Ini membuat saya tergerak untuk membangkitkan sektor pendidikan,” ungkapnya saat mengenang kondisi 27 tahun yang lalu. Di tengah berbagai keterbatasan, akses jalan yang masih sulit, pasar yang sepi, dan penerangan yang belum memadai, semangat Ibu Sri tidak pernah padam. “Tidak ada rotan, akar pun jadi,” adalah prinsip yang selalu ia pegang. Dimulai dari pintu ke pintu, ia mengumpulkan kelompok petani untuk mengetahui kondisi pertanian dan dari sanalah ia dapat memasukkan edukasi kesadaran pendidikan bagi anak-anak yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.

Kini, Ibu Sri Sukarti masih tetap dalam perjuangannya membangun pendidikan di Mesuji melalui dedikasinya sebagai Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 16 Mesuji Timur. “Kami hanya memiliki enam orang guru dengan ruang kelas dan fasilitas yang terbatas. Tapi semangat anak-anak tidak padam, maka kami pun sebagai guru akan selalu memperjuangkan semangat itu,” tekadnya kuat.

SDN 16 Mesuji Timur hanya memiliki beberapa ruang kelas berukuran 3×8 meter yang cukup diisi oleh tujuh siswa. Namun, berbekal tekad dan inovasi yang kuat, Sri mengubah lorong kelas menjadi ruang kelas layak pakai dengan bergotong royong bersama siswa, masyarakat, dan orang tua murid. Hal ini membuktikan adanya kesadaran kolektif yang mulai terbangun untuk bersama menunjang pendidikan yang layak. Beberapa inovasi lain yang dilakukan dengan gotong royong adalah membangun lapangan upacara, pojok literasi, serta melakukan gerakan tanam cabai yang turut melibatkan partisipasi murid.

Selain membangun fasilitas secara mandiri, Sri juga turut membangun keterampilan para guru melalui komunitas Gurituman (Guru Tanggap Tuntutan Zaman). “Para guru kami bekali dengan pelatihan tentang digitalisasi dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan perkembangan zaman,” papar Sri. Dedikasi tulusnya ini mendapat apresiasi tinggi dalam ajang Jambore guru dan tenaga kependidikan (GTK) Hebat tahun 2024 sebagai Kepala Sekolah Dedikatif. “Pendidikan begitu penting untuk diri, keluarga, dan masyarakat. Melalui pendidikan kita tahu bagaimana cara bermasyarakat. Melalui pendidikan juga seseorang mampu berpikir sistematis dan berkomunikasi dengan baik, yang pada akhirnya dapat mewujudkan kerukunan dan kesejahteraan bersama,” ungkap Sri.

Sejalan dengan perjuangan yang dilakukan Sri Sukarti, Kepala Sekolah SD Tanjung Mas Jaya, Ibu Hesti Rahayu, juga turut berperan membangun pendidikan di Mesuji. Perjuangannya tidak hanya mengatasi keterbatasan sumber daya manusia, tetapi juga pada kondisi geografis yang tidak mendukung. Berlokasi di daerah rawa, bangunan sekolah kerap diterjang banjir dan merusak berbagai fasilitas, sementara jika musim kemarau tiba, air asin akan mematikan budidaya yang telah dilakukan sekolah.

Para guru telah mencoba berbagai program inovatif, seperti budidaya ikan, ternak bebek, serta berbagai gerakan menanam. Namun, proyek-proyek ini sering kali gagal karena kondisi geografis dan kurangnya pendampingan teknis bagi para guru. “Kami tahu caranya menanam, tetapi perlu ilmu dan bimbingan untuk merawat,” ungkap Hesti yang menyiratkan bahwa program bagus saja tidak cukup tanpa dukungan bimbingan teknis.

Menjawab tantangan itulah, tim Ekspedisi Patriot UI hadir, yakni tim yang ditugaskan untuk meneliti terkait kebijakan dan program di berbagai sektor wilayah transmigrasi. Untuk memahami permasalahan secara mendalam, tim Ekspedisi Patriot mengadakan Focus Group Discussion dengan para kepala sekolah se-Mesuji Timur di SDN 14 Mesuji Timur. Dalam forum tersebut, setiap kepala sekolah menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka di sektor pendidikan.

Tim Ekspedisi Patriot UI, yang terdiri dari berbagai spesialisasi, mendengarkan dengan seksama aspirasi ini. Dari forum tersebut, tim akan menghasilkan output berupa rekomendasi dan evaluasi kebijakan yang terperinci. Ini termasuk rekomendasi untuk perbaikan infrastruktur pendidikan, dukungan teknis, dan program-program yang berkelanjutan.

Kisah perjuangan Sri dan Hesti, serta para guru Mesuji lainnya, memberikan satu kesimpulan bahwa pendidikan layak diperjuangkan dan merupakan pondasi dari pembangunan, khususnya di wilayah transmigrasi. Para guru telah melakukan tugasnya, yakni mengisi gelas-gelas kosong dengan ilmu pengetahuan. Namun, mereka tidak bisa menjalankan tugasnya sendirian. Para guru membutuhkan bantuan pendampingan teknis, fasilitas sekolah yang memadai, dan tambahan tenaga pengajar yang mumpuni. Melalui kolaborasi sektor pemerintah pusat, daerah, akademisi, masyarakat, dan swasta, maka kita bisa mewujudkan masa depan Kabupaten Mesuji yang cerah.|*

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here