Oleh: KH Syamsul Yakin
Dai LDDA Kota Depok
Allah memberi informasi, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS. al-Rahman/55: 46). Takut yang dimaksud dalam ayat ini, seperti diungkap al-Thabari memiliki banyak makna. Pertama, taat kepada Allah dan meninggalkan maksiat.
Kedua, cemas akan dosa lalu berhenti melakukannya. Ketiga, cemas akan dosa dan ingat Allah saat menghadap-Nya, yakni saat dihisab. Keempat, orang yang menahan diri berbuat dosa. Kelima, hanya beribadah dan mendekat kepada Allah pada siang dan malam hari.
Dalam Tafsir Jalalain diungkap bahwa orang yang takut kepada Allah itu bisa sendiri-sendiri dan bisa bersama-sama. Yang penting, tulis al-Thabari, mereka melakukan segala kewajiban dan menjauhi segala yang dilarang. Inilah takut yang berujung takwa.
Yang dimaksud frasa “takut saat menghadap Tuhannya”, menurut penulis Tafsir Jalalain, adalah takut pada saat nanti dia berdiri di hadapan Tuhannya untuk dihisab. Oleh karena itu, maka dia bertakwa dan tidak berbuat durhaka kepada Allah. Tentu hal ini terjadi sebelum datang kematian. Posisi orang yang takut tersebut, bagi Syaikh Nawawi, nanti berdiri berhadapan dengan Allah. Informasi dari ayat inilah yang membuat orang itu takut hingga berhenti berbuat dosa.
Jalaluddin al-Suyuthi menuliskan bahwa ayat ini adalah satu-satunya ayat yang ada sebab turunnya di dalam surah al-Rahman. Menurutnya, ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar Shiddiq yang berkata, “Sungguh aku ingin agar menjadi sehelai daun dari dedaunan yang menghijau lalu dimakan seekor binatang. Alangkah baiknya kalau aku tidak pernah diciptakan”. Kalimat ini menggambarkan ketakutan Abu Bakar terhadap kiamat, mizan, surga, dan neraka.
Kalau ditelisik, ayat di atas berkorelasi dengan makna ayat, “(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS al-Muthaffifin/83: 6). Ibnu Katsir menggambarkan keadaaan manusia ketika itu sangat memilukan. Mereka tidak memakai alas kaki, telanjang badan, dalam keadaan belum dikhitan, dan penuh sesak dengan manusia durhaka. Mereka berada dalam keadaan penuh rasa takut terhadap murka Allah.
Sementara itu, makna frasa “dua surga” pada ayat itu ulama tafsir berbeda pendapat. Pertama, satu surga sebagai anugerah untuk ketaatan yang dilakukan seseorang dan satu surga lagi sebagai balasan karena meninggalkan dosa. Ini adalah pandangan Syaikh Nawawi. Di dalam kitab tafsirnya, Syaikh Nawawi juga mengatakan bahwa satu surga sebagai balasan pahala kebaikan dan satu surga lagi adalah bonus.
Kedua, al-Maraghi menyebut dua surga itu adalah surga jasmani atau berbagai kelezatan fisikal dan surga ruhani yang menempatkan seorang hamba berada di sisi Allah. Al-Maraghi juga mengatakan bahwa dua surga itu juga adalah dua tempat tinggal yang memungkinkan penghuninya bebas berpindah-pindah dari surga yang satu ke surga yang lain.
Dasar teologis yang memungkinkan seorang hamba memperoleh dua surga sebagai lambang kemuliaan adalah ridha Allah itu sendiri. Allah memberi informasi, “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar. Itu adalah keberuntungan yang besar” (QS. al-Taubah/9: 72).
Selain surga ‘Adn, Nabi menyebut ada empat macam surga Firdaus. “Surga Firdaus itu ada empat macam surga. Dua surga terbuat dari emas termasuk semua perhiasan, wadah dan apa saja yang ada di dalamnya yang juga terbuat dari emas. Dua surga lagi terbuat dari perak termasuk semua perhiasan, wadah dan apa saja yang ada di dalamnya yang juga terbuat dari perak” (HR. Bukhari).
Kesimpulannya, ayat ini merupakan dalil bahwa kelak manusia dan jin yang bertakwa akan masuk surga. Untuk kesekian kalinya, kembali Allah memastilan, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. al-Rahman/55: 47).*