Khutbah Jumat: Kisah Ashabul Aikah

182
KH Syamsul Yakin

Oleh: KH Syamaul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Kisah Ashabul Aikah terangkai dalam al-Qur’an, tepatnya dalam surah al-Syu’ara mulai ayat 176 hingga 180. Sebagai pembuka kisah, Allah berfirman, “Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul” (QS. al-Syu’ara/26: 176).

Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan
Aikah adalah nama sebuah sumber air yang banyak pepohonan di sekitarnya, yakni di dekat kota Madyan. Sekarang Madyan terletak di dekat kota al-Bada, Provinsi Tabuk, di bagian Barat Laut Arab Saudi.

Nabi Syu’aib diutus Allah untuk orang-orang Madyan, “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib” (QS. al-A’raf/7: 85). Dalam cerita para nabi beliau dikenal sebagai khatibul anbiya atau juru bicara para nabi.

Namun, Syaikh Nawaw dalam kitab Tafsir Munir, misalnya, menyebut bahwa Nabi Syu”aib diutus juga untuk memberi peringatan kepada Ashabul Aikah yang dikenal zalim. Jadi penduduk Madyan dan Ashabul Aikah dua kaum yang berbeda. Namun Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat bahwa mereka adalah satu kaum dengan dua nama, yakni Madyan dan Ashabul Aikah.

Lebih tegas, tentang Ashabul Aikah, Allah memberi informasi, “Dan sesungguhnya penduduk Aikah itu benar-benar kaum yang zalim” (QS. al-Hijr/15: 78). Dikatakan zalim karena mereka mendustakan Nabi Syu’aib dan menyembah pepohonan. Mereka memang tinggal di daerah yang pepohonan tumbuh subur di sana.

Menurut Ibnu Katsir, selain mempersekutukan Allah dengan menyembah pepohonan, Ashabul Aikah juga gemar menyamun, dan suka mengurangi takaran dan timbangan. Allah menghukum mereka dengan teriakan yang mengguntur, gempa dan azab saat mereka dinaungi awan.

Untuk itu, sebelum hukuman ditimpakan, Nabi Syu’aib diutus untuk memberi peringatan kepada mereka seperti yang direkam al-Qur’an. Misalnya, “Ketika Syu’aib berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa?” (QS. al-Syu’ara/26: 177).

Begitu juga makna ayat, “Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (QS. al-Syu’ara/26: 178-179).

Nabi Syu’aib juga membujuk mereka, bahwa yang dia lakukan tidak memiliki motif ekonomi dan tendensi pribadi, tapi murni karena perintah Allah. Hal ini diungkap karena mereka adalah para saudagar kaya yang curang dan penimbun barang dagangan.

Alasan Nabi Syu’aib berdakwah tanpa pamrih terekam dalam al-Qur’an, yakni, “”Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” (QS. al-Syu’ara/26: 180). Namun mereka bergeming sampai akhirnya turun azab Allah.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here