Kota Kembang | jurnaldepok.id
Wakil Ketua DPRD Depok, Yeti Wulandari angkat bicara terkait ditolaknya Peraturan Daerah Penyelenggaraan Kota Religius (PKR) oleh Kementerian Dalam Negeri. Yeti menyebut ada beberapa faktor kenapa perda tersebut bisa ditolak meskipun sudah disahkan oleh DPRD.
“Ada beberapa factor ya, misalnya perda tersebut nantinya tidak sesuai dengan undang undang di atasnya atau perda tersebut bisa memicu adanya ketidak harmonisan di masyarakat,” ujar Yeti kepada Jurnal Depok usai menghadiri Paripurna, Jumat (30/09).
Yeti tidak menapikan jika Perda PKR sudah disahkan dan diserahkan ke Gubernur Jawa Barat serta Kementerian Dalam Negeri.
Dijelaskannya, jika flash back ke belakang, pembahasan Perda PKR menuai pro kontra. Ada beberapa fraksi termasuk Fraksi Partai Gerinda yang tidak ingin pembahasan Perda PKR itu dilanjutkan.
“Kami dari awal berpikiran takutnya perda itu ditolak Kemendagri, karena dasarnya kami melihat perda-perda di daerah lain yang saat itu pernah bertentangan juga kaitan dengan hal tersebut. Saat itu akhirnya pembahasan dilanjutkan karena voting. Gerindra dan PDIP saat itu menolak untuk dilanjutkan pembahasannya,” paparnya.
Lebih lanjut Yeti tidak mengetahui secara pasti di pasal mana yang dianggap tidak sesuai oleh Kemendagri, sehingga akhirnya perda itu ditolak.
Sementara itu Ketua Fraksi PKS DPRD Depok, Hafid Nasir menilai, tidak disetujuinya Perda PKR oleh Kemendagri merupakan kesempatan Pemerintah Kota Depok untuk membangun komunikasi lebih intens lagi dengan pemerintah pusat.
“Kami pikir perlu dibangun komunikasi lebih dalam lagi oleh pemerintah daerah ke Kemendagri. Ini momentum yang baik dan bisa menjadi pintu masuk ke pemerintah pusat, karena banyak hal yang bisa dibicarakan,” tandasnya.
Hafid menilai, ditolaknya Perda PKR oleh Kemendagri tidak ada unsur muatan politis. Namun ia menilai lebih kepada peraturan kebijakan yang perlu disinkronisasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
“Mungkin daerah punya kebijakan, namun di pusat tidak ada cantolannya. Nah ini merupakan area balnk spot yang harus dibangun. Kami rasa ini belum final ya, masih ada celah untuk nantinya bisa diterima,” ungkapnya.
Sebelumnya, Wali Kota Depok, Mohammad Idris mengatakan, Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Kota Religius tak disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Sayang sekali, sudah kami sahkan di DPRD bersama-sama namun tidak disetujui oleh kementerian, Gubernur juga enggak mendukung, sehingga mandek di kementerian, bahwa katanya itu ranah agama. Padahal kami tidak mengatur warga memakai jilbab maupun mengatur ibadah lainnya,” ujar Idris kepada Jurnal Depok, Kamis (29/09).
Perda tersebut, sambungnya, tak lain untuk mengatur kerukunan umat beragama seperti kedamaian, kekompakan dan toleransi.
Dijelaskannya, alasan Kemendagri menolak Perda Penyelenggaraan Kota Religius dianggapnya hanya karena ada kata-kata religius.
“Harusnya baca dulu dong dalamnya, kalau sudah dibaca dan tahu substansinya, Insya Allah akan paham semuanya, ini hanya karena ada kata religius. Padahal visi Kota Depok sebelumnya adalah Unggul Nyaman dan Religius, itu enggak dipermasalahkan, oleh KPU pun dijadikan catatan dokumen negara,” katanya.
Idris yang merupakan penggagas Depok sebagai Kota Sejuta Maulid itu pun menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, kata dia, untuk membuat satu perda menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah.
“Itu bisa Rp 300-400 juta, termasuk kunjungan kerja dan lain-lainnya. Nah sekarang mandek hanya karena dimasukan ke laci Kemendagri. Sebelum jabatan saya berakhir, nanti akan kami minta kembali ke Pak Menteri termasuk Menteri Agama, kami akan minta rekomendasi. Tolong dibantu Menteri Agama, karena ini urusan agama. Sekarang Kementerian Agama ada enggak anggaran untuk para ustad maupun acara maulid dan kegiatan keagamaan lainnya?, enggak ada. Pemerintah daerah memiliki kepentingan itu,” pungkasnya. n Rahmat Tarmuji