Pancoran Mas | jurnaldepok.id
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok, KH Syamsul Yakin mengungkapkan, banyak cara dan banyak pihak untuk merespons gejolak terkait kasus Ahmadiyah.
“Misalnya, masyarakat turun ke lokasi meminta agar kegiatan ibadah yang meresahkan dihentikan. Pemerintah merespons dengan hati-hati masalah sensitif ini, diawali berdiskusi lalu membuat keputusan seperti menancap papan segel yang terus-menerus diperbaharui. Ini adalah langkah ikhtiar pemerintah dan masyarakat untuk membuat kehidupan beragama penuh harmoni,” ujarnya kepada Jurnal Depok, Senin (25/10).
Memang, kata dia, langkah-langkah ini hingga saat ini belum memenuhi ekspektasi masyarakat. Kendati sudah disegel berkali-kali oleh pemerintah, masyarakat menilai kelompok Ahmadiyah masih terus bergiat, baik soal agama maupun sosial-kemasyarakatan. Segel pemerintah tampaknya tidak berdampak apa-apa.
Dalam kondisi seperti ini, sambungnya, MUI diminta untuk proaktif. Namun langkah paling prosedural bagi MUI adalah melakukan advokasi.
“Pertama, advokasi pada level individu dan keluarga. Setiap individu harus mendapatkan informasi soal Islam mainstream yang berdasar Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijtihad ulama yang disepakati. Setidaknya setiap orang harus diberi pemahanan soal kerangka dasar ajaran Islam genuine, yakni akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Sumber rujukan yang valid dan otoritatif yang diakui ulama sejagat sangat perlu juga untuk ditampilkan,” paparnya.
Advokasi ini, kata dia, menyasar individu dan keluarga di Kota Depok, terutama kelompok Ahmadiyah yang diketahui berkitab suci selain Al-Qur’an dan mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
“Tentu advokasi ini memancing diskusi panjang. Inilah peluang bagi kelompok Ahmadiyah untuk berargumentasi dan kesempatan buat MUI menjelaskan ajaran Islam yang sebenarnya. Pemerintah bisa memfasilitasi proses advokasi pada level ini. Menurut saya ini adalah Problem Based Learning (PBL) masif yang akan berbuah positif,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, advokasi pada level masyarakat. Masyarakat diharuskan diadvokasi tentang adanya lapisan-lapisan sosial di masyarakat beserta fungsi-fungsinya. Adanya lapisan-lapisan sosial ini bersifat eksistensial dan secara fungsional harus terwujud seperti adanya organ tubuh.
“Maka itu di dalam masyarakat tidak boleh ada kelompok yang malfungsi alias tidak berfungsi atau malah merusak fungsi-fungsi persatuan, perdamaian, dan keseimbangan,” katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Quran itu juga mengatakan, masalah keagamaan masyarakat juga harus meminta informasi soal agama kepada ulama setempat yang diakui keilmuan dan integritasnya terhadap Islam arus utama dan menolak sekte dan aliran sesat.
Untuk soal sosial-kemasyarakatan seperti kekurangan pangan dan kesehatan, masyarakat diberi arahan untuk mengadu kepada pemerintah setempat. Masyarakat harus hati-hati terhadap pemberian bahan pangan dan layanan kesehatan cuma-cuma. Masyarakat harus mampu mengorek motifnya. Setidaknya, masyarakat harus berkomunikasi kepada tokoh masyarakat dan pemeritah setempat.
“Selain MUI, kedua level advokasi di atas dapat dilakukan oleh ormas Islam lain yang saat ini diakui kredibilitasnya. Untuk menyebut contoh, misalnya, NU dan Muhammadiyah. Tentu kedua ormas ini sejak berdirinya sudah memiliki pengalaman merespons keterbelahan masyarakat dengan jurus patologi sosial masing-masing. Dalam konteks otokritik, soal Ahmadiyah adalah cermin wajah dakwah kita bersama. Inilah pekerjaan rumah besar kita untuk bahagia di dunia, yakni mengadvokasi sesama. Terutama kelompok Ahmadiyah. Itupun kalau diterima,” pungkasnya. n Rahmat Tarmuji