Oleh: KH Syamsul Yakin
Dosen Pascasarjana KPI FIDKOM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam kitab Fath al-Qarib, sebuah karya monumental Syaikh Muhammad bin Qasim, makna zakat secara etimologi adalah “tumbuh”. Makna ini lebih agresif ketimbang makna zakat yang berarti “bersih” dan “suci”. Di samping itu, makna ini mencakup dimensi psikologis zakat dengan minimal dua argumen teologis.
Pertama, pembayar zakat akan merasa senang karena zakat yang dikeluarkannya membuat dirinya “bersih” secara fisik dan “suci secara” ruhani. Kedua, pembayar zakat juga merasa diberi harapan ihwal zakat yang dibayarkannya yang membuat hartnya “tumbuh” bagi dirinya, dan bagi yang menerima zakat darinya (mustahik).
Dimensi psikologis zakat terekam dalam ayat, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Taubah/9: 103).
Dalam pandangan Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, terdapat dua penggalan kalimat yang syarat dengan dimensi psikologis zakat. Pertama, “Mendoalah untuk mereka”. Maksudnya adalah agar orang yang diberi zakat berdoa untuk yang memberi (muzaki). Doa yang dibaca bisa secara spontan atau mengikuti petunjuk ulama.
Misalnya, doa yang dianjurkan oleh Imam Syafi’i yang dikutip Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, “Semoga Allah memberimu pahala atas apa yang kamu berikan ini dan semoga Allah memberkati apa yang masih ada padamu serta menjadikannya sebagai kesucian”. Inilah doa yang biasa dibaca oleh para amilin manakala menerima zakat.
Kedua, “Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka”. Menurut pengarang Tafsir Jalalain yang dimaksud dengan “ketenteraman jiwa” adalah belas kasih (yang berikan Allah) untuk mereka. Sementara dalam ungkapan Syaikh Nawawi, maksudnya, “Doa yang kamu panjatkan mendorong ketenangan pada hati mereka”.
Dimensi psikologis seperti ini juga terekam dalam ayat lain. Misalnya, zakat dapat memelihara hati dari penyakit kikir. Allah berfirman, “Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran , maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. al-Hasyr/59: 9). Dalam konteks sosio-historis orang-orang yang beruntung itu adalah kaum Anshar.
Tak hanya ayat dalam al-Qur’an, dimensi psikologis yang dapat menggugah hati pemberi zakat, tapi juga hadits qudsi, “Allah berfirman, “Berinfaklah wahai manusia, niscaya aku akan berinfak untukmu” (HR. Bukhari dan Muslim). Maknanya, Allah tidak akan membuat kurang harta orang yang membayar zakat, justru sebaliknya akan berkembang.
Nabi SAW bersabda dalam hadits yang ditulis Imam Muslim, “Zakat itu adalah bukti (cinta)”. Sabda Nabi SAW ini pasti membuat pembayar zakat gembira. Karena ia masuk kategori orang yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagai orang yang telah membuktikan cintanya, baik kepada Allah, Rasulullah, maupun manusia. Jadi bukan cinta basa-basi.
Begitu juga sabda Nabi SAW yang bersumber dari Ali bin Abi Thalin, “Sesungguhnya dalam surga terdapat kamar-kamar, yang bagian luarnya tampak terlihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya tampak terlihat dari bagian luarnya”. Sejurus, ada seorang Badui yang berdiri, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, untuk siapa kamar-kamar tersebut?”
Rasulullah SAW menjawab, “Kamar-kamar itu untuk orang yang membaguskan ucapan, memberi makan, senantiasa berpuasa, melakukan shalat untuk Allah di malam hari ketika manusia sedang tidur” (HR. Turmudzi). Makna memberi makan di sini bisa berarti memberi zakat kepada seseorang yang sedang kelaparan.
Secara psikologis, zakat yang dikeluarkan orang kaya sehingga bisa dinikmati untuk makan dan minum buat orang-orang miskin akan mengurangi ketegangan psikologis antara orang miskin dengan orang kaya dalam suatu komunitas. Dengan kata lain, kohesi sosial akan kian tebal dan jurang pemisah antara orang miskin dan kaya jadi menipis.
Pengarus psikologis lain yang sangat positif adalah bahwa zakat mampu meredam bahkan menurunkan angka kriminalitas terutama yang diakibatkan perut yang lapar, kesal melihat orang kaya berpesta pora dan memamerkan harta. Maka tak pelak, secara psikologis, zakat mampu membuat kehidupan jadi harmonis, saling meghargai, dan menghormati.
Tentu para pengelola distribusi zakat dituntut untuk bekerja secara profesional sehingga zakat dapat menyentuh sisi psikologis pagi muzaki dan mustahik. Karena potensi zakat yang terealisasi dalam angka triliun rupiah bukanlah suatu kesuksesan manakala lembaga zakat di gedung mewah masih sulit dijangkau oleh fakir dan miskin.
Apalagi dalam al-Qur’an disebutkan ada mustahik yang tidak mau meminta-minta namun ada bagian zakat yang harus diterima. Allah berfirman, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. al-Dzariyat/51: 19). Ayat ini harus menghentak para pengelola distribusi zakat.*