Oleh: KH Syamsul Yakin
Dosen Pascasarjana KPI FIDKOM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Zakat adalah rukun Islam ketiga sesudah shalat. Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam al-Tsimar al-Yaaniah, orang yang mengingkarinya dihukumi kafir. Kafir, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits, adalah orang yang tidak menyatakan beriman kepada Allah secara verbal dan tidak ada iman kepada Allah di dalam hatinya.
Untuk membayar zakat, tulis Syaikh Nawawi Banten, seseorang harus memenuhi minimal empat syarat. Pertama, bukan seorang budak (harus hamba merdeka). Kedua, beragama Islam. Karena itu yang tidak membayat zakat adalah kafir. Ketiga, memenuhi nishab (kuantitas harta). Keempat, harta yang dikuasainya itu adalah milik sendiri, bukan milik bersama.
Secara tegas, perintah zakat dititahkan setelah shalat, seperti terurai dalam al-Qur’an, “Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” (QS. al-Baarah/2: 43). Kalau ditelusuri lebih jauh ayat-ayat terkait dengan zakat terulang sebanyak 82 kali dalam al-Qur’an. Porsi ini tentu menarik perhatian.
Hal ini bisa dipahami karena zakat bersifat multidimensi. Selain berdimensi teologis, zakat juga berdimensi historis, ekonomi, politik, sosiologis, psikologis, edukasi, komunikasi, dan tentu eskatologis. Oleh karena itu, zakat berbeda dengan shalat yang bersifat ritual-individual-formal, zakat dapat menjadi hulu-ledak bagi perbaikan sosial.
Artinya, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang bertransformasi dari ibadah personal kepada ibadah sosial. Zakat tidak hanya berpahala tapi membuat orang yang sedang lapar menjadi kenyang. Zakat tidak hanya berarti suci, tapi juga membuat orang yang terpuruk menjadi bertumbuh. Inilah dimensi sosial-ekonomi zakat.
Lebih jauh, zakat dibisa didekati dengan trilogi bangunan filsafat, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi itu berbicara tentang hakikat zakat. Epistemologi, menyasar ihwal sumber yang dijadikan rujukan dalam membayar zakat. Sementara aksiologi bangunan filsafat yang membicarakan mengenai manfaat zakat.
Secara ontologis, membayar zakat pada hakikatnya adalah menjalankan perintah Allah ihwal “tunaikan zakat” di atas. Apalagi perintah tersebut diulangi berkali-kali. Termasuk sabda Nabi SAW dalam sejumlah hadits shahih. Bedanya, al-Qur’an bersifat konsepsional-filosofis, sedangkan hadits Nabi SAW lebih bersifat praktis-implementatif.
Misalnya, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi umat Muslim, baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Nabi SAW memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini titah Nabi SAW soal zakat fitrah.
Secara epistemologis, ilmu pengetahuan soal zakat diperoleh dari al-Qur’an dan hadits, serta karya-karya para ulama, khususnya soal yurisprudensi zakat. Seperti hukum membayar zakat, syarat mengeluarkan zakat bagi orang yang sudah wajib berzakat (muzakki) dan orang yang menerimanya (mustahik), termasuk jenis benda yang wajib dizakati.
Secara aksiologis, manfaat membayar zakat dan akibat tidak melaksanakannya tercakup dalam sabda Nabi SAW, “Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan” (HR. Ibnu Majah).
Secara lebih jelas, zakat secara filosofis menyangkut tiga aspek. Pertama, aspek tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus memimpin dan mengatur tersedianya produksi, distribusi, dan konsumsi bagi makhluk hidup di bumi. Dalam konteks ini, zakat harus melibatkan pemerintah baik soal undang-undang, anggaran, maupun pengawasan.
Kedua, aspek solidaritas sosial dimana diharapkan zakat mampu memperkecil social gap atau jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Sebab kesenjangan dan kelaparan dapat menimbulkan bara api. Zakat adalah airnya. Nabi SAW bersabda, “Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api” (HR. Turmudzi).
Ketiga cinta dan persaudaraan dimana zakat adalah instrumennya. Nabi SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari). Jadi dalam konteks ini, membayar zakat adalah lambang dan bukti cinta seseorang kepada sesama.*