Oleh: KH Syamsul Yakin
Dosen Pascasarjana KPI FIDKOM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib yang ditoreh oleh Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazi, makna zakat secara etimologi adalah “al-Namaa’u” atau tumbuh. Makna ini lebih “agresif”, ketimbang makna zakat yang berarti bersih dan suci. Di samping itu, makna ini memberi spirit untuk menumbuhkan ekonomi umat melalui zakat.
Secara terminologi, lanjut Syaikh al-Ghazi, zakat adalah nama harta tertentu (makhshusah) yang diambil dari harta tertentu dengan cara tertentu, dan diberikan untuk golongan tertentu. Allah SWT berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. al-Taubah/9: 103).
Berdasar ayat ini nama harta tertentu itu adalah “shadaqatan” atau sedekah wajib yang berarti zakat. Sedangkan harta tertentu yang wajib dizakatkan dalam pandangan Syaikh Nawawi Banten dalam Kasyifah al-Sajaa, itu ada 6 macam. Yaitu, hewan ternak, emas dan perak, tanaman, harta perdagangan, rikaz, dan pertambangan.
Mengenai pengertian, syarat, dan besaran (nishab) keenam harta itu dijelaskan oleh Syaikh Nawawi Banten dalam kitab di atas. Tentang rikaz didefinisikan oleh Syaikh Nawawi Banten dalam Al-Tsimar al-Yani’ah fi al-Riyadh al-Badi’ah, sebagai harta masa jahiliyah yang ditemukan. Penemunya wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 persen.
Lalu inilah golongan tertentu penerima zakat, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan … (QS. al-Taubah/9: 60).
Dalam ayat di atas, delapan golongan yang berhak mendapat zakat berlaku hirarkis, artinya yang disebut lebih dulu itu yang yang lebih diprioritaskan. Terutama fakir dan orang-orang miskin. Penyebutan dua sasaran (masarif) zakat pertama ini, menurut Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqhu al-Zakat, adalah untuk menghapus kemiskinan.
Menurut Imam al-Thabari dalam Tafsir al-Thabari, orang miskin adalah orang yang memiliki kebutuhan hidup dan suka meminta-meminta. Sedangkan orang fakir adalah orang yang memiliki kebutuhan hidup namun tetap menjaga diri dari meminta-minta. Dalam konteks inilah zakat harus menumbuhkan ekonomi masyarakat fakir dan miskin.
Apalagi potensi zakat dari harta orang kaya dalam enam macam harta seperti diungkap Syaikh Nawawi Banten itu sangat melimpah. Menariknya, menurut Syaikh Yusuf Qaradhawi salah satu syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang punya potensi untuk dikembangkan dan bertambah baik dengan cara dikelola sendiri atau orang lain.
Syarat berkembang ini memberikan penjelasan bahwa orang yang mengeluarkan harta untuk zakat dipastikan tidak akan jatuh miskin. Sebaliknya malah dengan zakatnya ia dapat tumbuh dan menumbuhkan ekonomi umat. Nabi SAW bersabda, “Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya” (HR. Bukhari).
Saatnya kita menumbuhkan ekonomi umat dengan membayar zakat di tengah pandemi yang membuat ruang gerak usaha terbatas. Allah SWT berfirman, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian” (QS. al-Dzariyat/51: 19). Besarnya 2,5 persen dari total harta kita.