Oleh: Hj Qonita Lutfiyah, SE. MM
Wasekjen DPP PPP
Puasa disyariatkan menjadi jalan bagi yang melakukan untuk mencapai derajat utama, karena dengan tegas disebutkan puasa hanya diwajibkan bagi orang yang beriman.
Sedangkan, yang beriman adalah yang mendapat pencerahan dalam kehidupan, sehingga perilaku maupun pemikirannya mencerminkan kedewasaan beragama dan bermasyarakat.
Secara fiqih, puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri pada siang hari selama ramadan. Semua kebutuhan (makan, minum dan hubungan intim) merupakan kebutuhan dasar setiap manusia.
Saya coba meminjam istilah ahli psikoanalisis, Sigmun Freud, jika puasa hanya sekedar menahan lapar, haus dan nafsu birahi pada siang hari, maka itu adalah refleksi keberagamaan tingkat anak-anak.
Menurut Freud, ada tiga fase kenikmatan mengikuti perkembangan kepribadian anak yaitu oral, anal dan genital, dimana itu adalah fase alami pertumbuhan manusia.
Semua kebutuhan dan kesenangan tiga periode itu disebut bersifat fisik, tidak ada dimensi rohani atau ruhaniah. Jadi jika dewasa puasanya hanya mampu menahan nafsu atas kebutuhan dasar berarti tidak mengalami pencerahan, atau mengalami degradasi.
Aspek fisik, simbolik, formal dan ritual adalah jalan untuk mencapai tujuan dalam beragama. Artinya, cara boleh berbeda namun tujuan harus tetap sama.
Puasa mengajarkan kita bahwa salah satu inti dari ajaran agama adalah pendewasaan dan pencerahan diri menuju manusia yang sempurna atau insan kamil.
Jika manusia tidak mampu mengendalikan kebutuhan diri atau fisik, maka manusia tersebut dipastikan tidak akan sampai kepada tingkat derajat spiritual yang merupakan hakikat beribadah kepada Allah SWT.
Itulah salah satu hikmah puasa, yaitu sebagai sarana pendewasaan dan pencerahan hidup manusia.
Pelajaran akan hal itu pernah disampaikan oleh guru saya tentang salah satu Sabda Nabi Muhammad yang isinya ‘siapa yang perutnya lapar (karena berpuasa), maka fikirannya akan menjadi luas tercerahkan dan hatinya akan bersih’.|*