Kota Kembang | jurnaldepok.id
Walikota Depok, Mohammad Idris menanggapi masih banyaknya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) tahun anggaran 2017 sebesar Rp 545.513.555.866,36. Idris menegaskan jumlah tersebut jauh berkurang dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1 triliun lebih.
“Di tahun 2017 silpa turun Alhamdulillah sampai separuhnya. Sebagian efisiensi, sebagian tidak bisa direalisasi. Misalnya kebanyakan hibah, ketika kami priksa admistrasinya tidak lengkap, tentu kami tidak berani untuk memproses itu,” ujar Idris kepada Jurnal Depok, Kamis (29/3).
Namun begitu, pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap aktivitas kegiatan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti pembangunan gedung pemerintah yang secara perundangan tidak bisa dilaksanakan.
“Seperti halnya kami ingin membangun gedung SMPN 26 di Bojongsari, karena ada sengketa tanah, maka tidak bisa direalisasi,” paparnya.
Dikatakannya, bahwa deficit anggaran untuk 2018 telah ditutupnya menggunakan silpa untuk belanja 2018 sebesar Rp 500 miliar lebih.
“Sehingga, Rp 450 miliar dan hasil mendapat hadiah Rp 70 miliar bisa dimasukkan ke angka tersebut. Jadi sudah nol (tidak ada deficit,red),” terangnya.
Senada dengan walikota, Ketua DPRD Depok, Hendrik Tangke Allo mengatakan bahwa sumber silpa harus dilihat dari berbagai sisi. Ia mengatakan, silpa ada yang bersumber dari kegiatan yang gagal dilaksanakan seperti cut off, persyaratan admistrasi yang tidak terpenuhi sehingga dinyatakan gagal lelang.
“Artinya itu menjadi potensi silpa. Tentu juga harus dilihat dari sisi lain, apakah program ini tidak berjalan atau seperti apa, yang kami lihat kebanyakan silpa disebabkan oleh pekerjaan fisik yang terkena cut off, tidak dibayarkan semuanya karena prosentase pekerjaan tidak sampai 100 persen,” tandasnya.
Selain itu, sambungnya, hibah bansos juga menjadi salah satu penyumbang silpa lantaran hal itu tidak dapat dicairkan karena terkendala persoalan admistrasi. Dirinya tidak mengharapakan juga pemerintah mencairkan sementara persyaratan admistrasi dan legalitas penerimanya tidak jelas.
“Maka lebih baik itu menjadi silpa,” tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, ada beberapa OPD penyumbang silpa terbesar dikarenakan OPD tersebut memiliki anggaran yang besar pula untuk pembangunan fisik seperti halnya Dinas PUPR dan Dinas Rumkim.
“Namun kami tidak bisa menyalahkan dinas. Betul, ketika pelaksanaan dilaksanakan ternyata pihak ketiga tidak menyelesaikan dengan 100 persen, maka dia harus dibayar sesuai hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan. Maka itu menjadi penyumbang silpa,” katanya.
Tak hanya itu, lanjutnya, hibah bansos juga menjadi salah satu penyumbang silpa terbesar. Seperti halnya bansos untuk RTLH, hibah ke lembaga amupun organisasi yang mengajukan bantuan.
“Namun setelah dianggarkan dan diverifikasi tidak memenuhi syarat untuk diberikan, itu juga menjadi silpa pada akhirnya,” ungkapnya.
Namun begitu, politisi PDI Perjuangan itu menilai silpa tahun anggaran 2017 masih dalam batas kewajaran dan tidak terlalu besar.
“Toh silpa itu diperlukan untuk nanti di anggaran perubahan, karena nanti pasti ada pekerjaan yang dilaksanakan di masa anggaran perubahan di ABT. Artinya silpa itu tidak negatif juga, kalau tidak ada silpa pekerjaan yang belum selesai di akhir tahun tidak ada anggarannya, jadi ada sisi positifnya selama masih dalam batas kewajaran,” pungkasnya. n Rahmat Tarmuji