Beji | jurnaldepok.id
Pakar konstruksi Universitas Indonesia (UI), Irwan Katili mengatakan dalam setiap konstruksi pembangunan perlu dilakukan pengawasan lebih mendalam. Hal ini mengingat pembanguman berdampak pada keselamatan pengguna jalan dan pekerja proyek yang sedang bekerja.
“Lebih dilakukan peningkatan, karena ini menyangkut keselamatan pengguna jalan dan juga pekerjanya,” katanya.
Sebelumnya pada Minggu (4/2) kecelakaan kerja kembali terjadi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Sebuah crane roboh dan menimpa para pekerja yang tengah bekerja membangun lintasan kereta. Akibat robohnya crane ini, dua orang pekerja dilaporkan tewas.
Kemudian pada Senin (5/2) underpass Bandara roboh dan menimpa sebuah mobil. Akibatnya satu orang dinyatakan tewas karena luka yang dialami sangat parah.
Anggota Ombudsman Alvin Lie menilai, longsornya tembok underpass di Jalan Perimeter Selatan tersebut terjadi akibat kelalaian dalam pembangunan infrastruktur. Tembok sepanjang 20 meter itu, lanjutnya, ambrol saat kondisi cuaca sedang hujan. Dia menilai, tembok tidak tahan menahan dorongan tanah yang diakibatkan oleh genangan air. Sehingga, saat terjadi genangan air cukup banyak, tembok langsung ambrol dan menimpa pengendara yang ada di bawahnya.
Jauh sebelum peristiwa tersebut pada 22 Januari lalu Light Rapid Transit (LRT) di Kayu Putih Jakarta roboh. Akibatnya lima orang mengalami luka.
Dalam hal ini pakar konstruksi Universitas Indonesia (UI) Irwan Katili mengatakan tiang penyangga yang digunakan dalam pembangunan light rapid transit (LRT) diyakini dibuat dengan standar yang sama. Pasalnya pembangunan LRT terintegrasi dari Bogor hingga Jakarta. Artinya, tiang penyangga yang digunakan sama dari hulu ke hilir.
“Perencanaan dibuat sama. Artinya balok yang banyak dipakai itu pun dibuat dengan standar pembuatan yang sama,” katanya.
Ia menjelaskan dengan demikian maka perencanaan yang dibuat pun memiliki beban yang sama untuk menahan. Singkatnya, kata dia, secara spesifikasi tentu semua balok penyangga itu memiliki ketahanan beban yang sama.
“Secara spesifikasi semua sama (standar). Karena jarak tiang yang digunakan juga sama,” ucapnya.
Hanya saja ada dugaan bahwa kemungkinan ada faktor human error dalam pembangunannya sehingga terjadi ambruk. Mungkin saja pengawasan saat pembuatan balok tersebut sempat terjadi kelengahan sehingga diduga ada yang tidak sesuai standar namun tetap dipasang. Mengingat pekerjaan ini juga harus selesai sebelum pelaksanaan Asean Games 2018.
“Mungkin saja kualitas produksi yang salah. Kalau pabrikan seharusnya standarnya sama. Pengawasan terhadap produksi dari pabriknya, kemudian dibawa ke lokasi terjadi benturan sehingga mengurangi kualitasnya,” paparnya.
Faktor kedua, perlu dilihat lebih lanjut mengapa ini sampai ambruk. Apakah ini ambruk setelah terpasang diduga karena tertimpa sesuatu benda sehingga sambungan lepas. Atau memang pada saat dibawa dari pabrik menuju lokasi proyek terjadi benturan sehingga mengurangi kualitas balok tersebut.
“Ini yang harus didalami. Tapi kalau karena angin saya tidak percaya. Beton itu berat sekali. Kalaupun ambruk karena angin, tentu anginnya sangat kencang. Kalau angin kencang tentu lingkungan sekitar proyek juga rusak,”tandasnya.nNur Komalasari