Beji | jurnaldepok.id
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, aktivitas kriminal yang dipicu oleh aksi geng motor bukan hanya terjadi di Indonesia. Trend ini juga terjadi di negara-negara maju sekalipun. Penyebab dari aktivitas geng motor ini pun beragam.
“Aktivitas ini diawali oleh kehadiran sekelompok orang yang memiliki komitmen untuk tergabung dalam sebuah kelompok yang difasilitasi dengan sumber daya transportasi kendaraan roda dua,” ujarnya.
Ia memaparkan faktor terikatnya para individu tersebut secara umum ialah faktor kebersamaan dan merasa nyaman. Mereka adalah kumpulan orang yang membutuhkan kehangatan kelompok (belonging) dan merasa aman (security) di dalam sebuah kelompok. Yang memungkinkan hal tersebut terjadi ialah ketersediaan waktu untuk terus bersama-sama.
Ia menambahkan kondisi tersebut dapat disebabkan oleh anak – anak muda yang tidak memiliki banyak aktivitas lain selain sekolah ataupun pemuda yang belum memiliki pekerjaan tetap.
“Sehingga mereka dengan leluasa menjalin komunikasi dan secara intensif menyusun berbagai rencana aktivitas non kriminal maupun kriminal,” paparnya.
Lebih lanjut dijelaskan, kondisi mental individu ketika berada di dalam kelompok akan mengalami perubahan. Karena di dalam kelompok individu akan kehilangan ‘diri’nya karena faktor anonimitas. Di dalam kelompok, individu tidak lagi memiliki identitas sebagai individu.
“Individu yang ada hanya individu kelompok. Situasi ini yang membuat mereka dapat mengekplorasi jati diri mereka yang lain, yang tidak pernah mereka tunjukkan selama ini. Ini yang memungkinkan mereka melakukan tindakan tidak terpuji,” jelasnya.
Ada beberapa kemungkinan mengapa mereka bertindak demikian. Pertama, kurangnya ruang ekspresi mereka di sekolah atau lingkungan masyarakat. Kedua, mereka tidak memiliki aktivitas produktif. Ketiga, pola asuh yang membebaskan.
“Sehingga memberikan kepercayaan yang tidak terkontrol pada anak dan remaja,” ucapnya.
Menurutnya remaja dan pemuda adalah fase yang krusial. Dimana proses pembentukan jati diri dan identitas harus didampingi dan diarahkan dengan tepat. Maka yang harus dilakukan orang tua dan lingkungan adalah dengan pola 5B. Yaitu, banyak berkomunikasi dengan mereka dengan cara yang mudah mereka pahami. Jangan gunakan model komunikasi orang berkuasa dengan yang tidak. Komunikasi bersifat sejajar. Kedua, bantu mereka temukan minat dan kepercayaan diri mereka. Ketiga, beri kesempatan mereka melakukan banyak aktivitas produktif sehingga mereka dapat menyalurkan energi dan bakatnya.
“Keempat, beri penghargaan pada mereka. Terakhir,bangun batasan terhadap pola aktivitas, perilaku dan pertemanan yang tidak produktif dengan cara yang tegas,” tandasnya.nNur Komalasari