Kasus dugaan pencaplokan Garis Sempadan Situ (GSS) oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Depok akhirnya terjawab sudah. Secara tegas, ASN tersebut membantah jika dirinya telah melakukan pencaplokan terhadap GSS Situ Pengasinan.
“Jika GSS yang dipermasalahkan 50 meter maka bangunan yang ada di pinggir situ terkena semua, termasuk tanah milik masyarakat. Tidak benar itu, kami bukan buaya yang asal main caplok,” ujar Tjutju Supriawan, ASN sekaligus pemilik rumah makan kepada wartawan, Rabu (8/2).
Ia menambahkan, bahwa rumah makan yang didirikan di pinggir Situ Pengasinan tidak masuk peta wilayah Situ Pengasinan, melainkan berada di luar situ. Ia menjelaskan, bahwa batas Situ Pengasinan ditandai dengan jembatan yang melintang di atas situ.
“Sebelum kami membeli lahan ini tentu kami teliti terlebih dahulu, termasuk melakukan pengecekan ke BPN. Setelah dicek, ada dasar kepemilikan berupa Leter C dengan luas kurang lebih 6.000 meter. Kami beli lahan ini dari enam pemilik, surat-suratnya lengkap ada yang berupa sertipikat dan AJB. Jadi jelas, rumah makan kami tidak berdiri di atas Situ Pengasinan,” paparnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa dirinya membeli lahan seluas 6.000 meter persegi itu dari mantan Kepala Desa Pengasinan, Marta Miftahudin atau yang lebih akrab disapa Lurah Doeng sejak tiga tahun lalu, namun baru dikelola satu tahun terakhir.
Terkait dengan perizinan, Tjutju yang menjabat sebagai kepala seksi di Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok mengkalim bahwa saat ini pihaknya telah memiliki beberapa perizinan.
“Kami telah memiliki izin lingkungan, domisili usha, izin kepariwisataan, pajak PPH. Semua izin telah kami tempuh tinggal menunggu IMB nya saja,” terangnya.
Tjutju menjelaskan, didirikannya rumah makan di pinggir Jalan Kasiba Lisiba itu tak lain untuk mendongkrak pariwisata Situ Pengasinan. Termasuk mempekerjakan tenaga lokal yang mencapai 20 orang.
“Sebagai ASN tidak mungkin lah kami memberikan contoh yang tidak baik, kami hanya ingin Situ Pengasinan terlihat maju dan kami ingin membantu perekonomian masyarakat sekitar. Kami beli dari hasil gaji kami sendiri, tidak ada keterlibatan Ibu Agung (Sekdis Damkar,red) dalam hal ini,” ungkapnya.
Marjuki Akew yang tak lain keluarga dari pemilik lahan meminta kepada pihak yang tidak tahu persoalan agar tidak asal bicara dan mengklaim bahwa lahan tersebut masuk wilayah Situ Pengasinan.
“Kami siap gelar perkara, kalau mau ditertibkan semua jangan tebang pilih. Pak Heri (FKH,red) tidak tahu sejarah situ ini, ia masuk setelah situ ini sudah rapih. Kalau mau diungkit, area yang kini dimiliki Pak Heri itu masih ada tanah situ seluas 5-6 ribu meter, jadi jangan asal bicara. Jelas rumah makan tidak masuk wilayah situ, kami beli lahan ini dari masyarakat,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua RW 01 Pengasinan, Amad Juman. Dijelaskannya, luas Situ Pengasinan saat ini mencapai kurang lebih tujuh hektare.
“Awalnya memang situ, kemudian alihfungsi jadi sawah dan empang. Kemudian saat Pak Doeng jadi kepala desa direvitalisasi kembali oleh beliau menjadi situ. Ia kembangkan situ dengan modal sendiri, tentu kami berterimakasih kepada Pak Doeng,” katanya.
Amad juga merasa gembira dengan berdirinya rumah makan di pinggir situ tersebut. Dikatakan Amad, dengan adanya rumah makan tersebut mampu mengundang wisatawan dari berbagai daerah dan investor baru.
“Kami tidak keberatan, malah kami senang dengan adanya rumah makan ini. Jujur setiap tahun Pokja Situ Pengasinan menyetorkan pendapatan dari pariwisata sebesar Rp 5 juta kepada pemerintah kota melalui Dinas Pariwisata. Kalau pemerintah mau menertibkan silahkan saja, kami senang. Namun jangan sampai tebang pilih harus seluruhnya,” pungkasnya.